Jumat, 02 Desember 2011

HIDUP BERSAMA ORANG SULIT

Ada yang membuat kami sekeluarga merasa ‘jijik’ beberapa hari ini. Adalah itik-itik peliharaan tetangga yang ‘diumbar’ alias dibiarkan lepas tanpa dimasukkan dalam kandang. Yang membuat kami merasa ‘jijik’ tadi adalah kotoran itik yang ternyata teronggok di mana-mana. Hujan yang turun setiap hari menambah suasana semakin becek dan semakin menjijikan. Kami sampai bingung harus bagaiamana mengatasi permasalahan tersebut, apakah harus marah-marah kepada tetangga kami ataukah kami harus marah-marah terhadap itik-itik tersebut. Namun kedua hal tersebut tidak kami lakukan sama sekali, karena kalau kami marah ke tetangga pasti akan menjadikan permasalahan lebih panjang, kalau kami marah kepada itik, buat apa? namanya juga binatang. Akhirnya kami mengalah, dan mencoba untuk bersabar dengan kondisi tersebut, dan yang kami lakukan adalah mencoba mengusir itik-itik tersebut ketika datang dan membersihkan kotoran apabila ‘terpaksa’ itik teresebut buang kotoran di sekitar rumah.
Dalam setiap kehidupan kita, pastilah akan selalu hadir sesuatu yang akan membuat kita merasa susah dan sulit, seperti itik tadi. Tidak hanya itik, namun kita juga akan merasakan kehadiran orang-orang yang sulit, orang yang akan memberikan sesuatu yang tidak nyaman atau bahkan akan membuat kita merasa terganggu. Di kantor seringkali kkita temukan orang-orang yang tidak bersahabat dengan kita, mudah marah, sering membuat pekerjaan bersama menjadi kacau. Di kampung sering kita temukan juga tetangga yang usil, tetangga yang reseh, tetangga yang selalu membuat kehidupan bersama menjadi tidak nyaman. Dalam sebuah organisasi sering juga kita temukan orang yang merepotkan dengan ulah dan tindakannya. Dan bahkan dalam keluarga kita pun ada salah satu anggota yang dirasakan sulit diatur, sulit dikendalikan, dan pokoknya membuat keseharian menjadi serba sulit.
Yang menjadi pertanyaan adalah bagaiamana menangani orang sulit seperti ini? Apakah mereka harus disingkirkan? Apakah kita harus menghindar dari orang-orang seperti ini?
Kalau boleh saya berpendapat, jawabannya ada TIDAK. Orang-orang seperti ini akan selalu muncul dalam dalam kehidupan kita. Kita tidak bisa menolak kehadiran orang-orang yang sulit dalam keseharian kita, baik di kantor, kampung, organisasi maupun keluarga kita, karena memang tidak ada manusia yang sempurna menurut kita.
Ada 2 hal yang harus kita pahami ketika kita berhadap dengan orang-orang yang menurut aturan umum atau mungkin aturan kita, dianggap orang yang sulit :
Pertama, kita harus memahami bahwa, kita tidak pernah akan menemui sebuah lingkungan yang sempurna. Pastilah ada orang-orang yang dapat dipersamakan dengan itik tadi. Ketika kita sudah bisa memahami ini, maka yang perlu kita bangun dalam persepsi kita adalah kita adalah bagian dari mereka dan mereka adalah bagian dari kita. Kita harus bisa menerima kehadiran mereka, dengan terpaksa maupun dengan ikhlas.
Kedua, kita harus menjadikan kehadiran orang-orang seperti itu untuk melatih toleransi dan kesabaran kita. Sangatlah mudah apapabila kita bertoleransi dengan orang-orang yang kita kasihi dan orang-orang yang sesuai dengan apa yang kita anggap 'kalem'. Namun ujian sebenarnya dari sebuah toleransi adalah ketika kita diuji untuk toleran kepada orang-orang yang menurut kita sulit, susah diatur dan bandel. Ketika kita bisa toleransi dengan orang-orang yang dibeci, saat itulah nilai spiritual toleransi berada dalam puncaknya.

Kamis, 01 Desember 2011

SIAPAKAH IDOLAMU?

Dalam sebuah tulisannya, salah seorang pegawai di salah satu kantor pajak, mengatakan dengan terus terang kekaguman, penghargaan dan penghormatannya kepada kepala kantornya yang telah bisa merubah dirinya menjadi bangga bekerja di kantor pajak, di saat banyak kasus, fitnah dan cercaan diterima oleh kantor tersebut. “Kepala kantor saya dengan sabar dan tekun menyimak serta mencatat semuanya. Beliau menjanjikan untuk membawa dan memperjuangkan masalah ini ke atasan. Wow….kesan awal yang baik. Wise, cool, humble, dan membela bawahan. In big respect and honour to you yang telah merubah saya,” itulah sebagian kalimat yang ia tulis.
Rasulullah Muhammad SAW pernah bersabda bahwa setiap dari kita ada seorang ‘pemimpin’, dan setiap ‘pemimpin’ akan dimintai pertanggungjawaban. Ada dua makna pertanggungjawaban dalam sabda Nabi tersebut. Makna pertama pertanggungjawaban yang dimaksudkan disini adalah pertanggungjawaban secara vertikal yang akan diminta oleh Tuhan ketika amal manusia diperhitungkan di hari yang mana manusia akan dibalas sesuai dengan amal kebaikannya. Dan yang kedua adalah pertanggungjawaban yang sifatnya horisontal yang harus disampaikan kepada sesama manusia yang menjadi tanggung jawabnya.
Pertanggungjawaban secara horisontal tersebut terjadi antara manusia dengan manusia lainnya yang harus dilakukan karena meraka dalam suatu hubungan tertentu. Sebagai contoh adalah seorang presiden dengan rakyatnya, seorang pemimpin perusahaan dan pegawai yang menjadi anak buahnya, antara seorang suami dengan istrinya, seorang ayah dengan anak-anaknya. Banyak bentuk-bentuk hubungan lainnya ya ng termasuk dalam sebuah hubungan yang mempunyai konsekuensi sebuah bentuk pertanggungjawaban. Artinya salah seorang yang terikat dalam sebuah hubungan tadi mempunyai fungsi sebagai ‘pemimpin’ yang harus memberikan pertanggunjawaban.
Bagaimana ukuran seorang ‘pemimpin’ dianggap sukses. Kepemimpinan adalah sebuah hubungan antara manusia dengan manusia lainnya. Sehingga secara mudah, salah satu cara mengukur kesuksesan seorang ‘pemimpin’ adalah dengan melihat seberapa besar kemanfaatan ‘pemimpin’ itu terhadap orang lain yang terikat sebuah hubungan dengannya. Pada dasarnya makna kehidupan bagi seseorang akan terasa indah ketika dia memberikan dampak yang positif pada orang lain. Saat orang lain mengekspresikan kekagumannya kepada ‘pemimpin’nya, maka saat itulah sebenarnya fungsi kepemimpinan dan kewajiban untuk memberikan pertanggungjawabkan sudah dijalankan dengan baik.
Ketika saya bertanya kepada seorang remaja puteri dalam sebuah acara di kampung tetangga, siapa yang kamu banggakan dan menjadi idolamu? Remaja tersebut menjawab ibuku. Kemudian saya bertanya,” kenapa?”, dan dia menjawab karena dialah yang susah payah mengandung, melahirkan dan membersarkan saya serta dia juga mampu ikut membantu ayahnya menopang kegiatam ekonomi keluarganya sehingga ia bisa menyelesaikan sekolahnya saat ini.
Mungkin lain lagi ketika seorang anak laki-laki ditanya, siapakah idola kamu? Ketika dia melihat bahwa ayahnya adalah seorang yang bisa mengajarkan nilai-nilai disiplin dan senantiasa bekerja keras untuk menghidupi keluarganya, maka jawaban anak tersebut kemungkinan besar adalah ayahku, aku ingin seperti dia.
Artinya sama seperti pegawai pajak dalam tulisannya tadi, dia tentunya tidak akan canggung menjawab, kepala kantornyalah yang menjadi idolanya ketika dia ditanya siapakah pimpinan idolanya. Karena dia telah mnemukan sosok yang mampu mengayomi, memberikan semangat dan sekaligus merubah dirinya menjadi seorang yang bangga terhadap apa yang dia kerjakan untuk kantornya.
Secara sederhana, keberhasilan dan kesusksesan seseorang dapat dengan mudah diukur dengan pengakuan orang-orang yang disekitarnya. Orang-orang akan menjadikan mereka sebagai idolanya. Mereka akan banyak mendapat nilai-nilai dari idolanya tersebut dan nilai-nilai tersebut akan mempengaruhi kehidupannya. Mereka mempunyai keyakinan bahwa dengan mengikuti nilai-nilai yang dimiliki oleh sang idola tadi mereka akan memperoleh sebuah kebahagian dalam lingkungan atau pun kehidupannya.
Pemimpin yang sukses adalah ketika pengikutnya mengatakan,”saya ingin menjadi pemimpin seperti dia”. Ayah yang sukses adalah ketika anaknya merasa bangga dengan ayahnya dan ia ingin seperti dia. Seorang istri yang sukses adalah ketika sang suami mengatakan,”sungguh beruntung saya mempunyai istri seperti dia.”
Lalu bagaimana dengan seorang suami yang sukses? Tentunya ketika istri membanggakan suaminya orang yang menjadi idolanya, ketika dia merasakan suaminya sangat sayang terhadap dirinya, bertanggung jawab terhadap kelurganya, dan menjadi tauladan bagi dia dan anaknya. Khusus untuk yang terakhir ini, saya menulis dengan sedikit malu, karena masih ragu apakah saya sudah menjadi seorang suami yang selama ini dicari oleh istri saya. Apakah saya sudah menjadi idola bagi istri saya? Apakah saya sudah menjadi sosok yang patut dibanggakan oleh keluarga saya?
Jawabannya adalah di tangan istri dan anak-anak saya. Bagaimana dik?
(terinspirasi setelah membaca kolom Pernik Majalah Swa)

MENCARI YANG SEMPURNA

Alkisah ada seorang pemuda yang sudah cukup usianya untuk mengakhiri masa lajangnya dengan menikah. Maka ia putuskan untuk mencari seorang gadis yang akan dia nikahi. Namun ada satu syarat yang ingin ia dapatkan, yaitu dia ingin memmpunyai istri seorang gadis yang sempurna.
Setelah beberapa lama dia mencari, akhirnya dia menemukan seorang gadis yang sangat cantik. Bayangan si pemuda tadi, “inilah gadis sempurna yang selama ini aku impikan untuk kujadikan istriku”. Namun ternyata pemuda tadi mengurungkan niatnya untuk menikahi gadis itu, karena ternyata gadis tersebut tidak bisa memasak.
Karena kecewa gadis yang akan dinikahinya tadi tidak sesempurna seperti yang dia impikan, pemuda tadi kemudian mencari gadis lainnya. Alhasil bertemulah dia dengan seorang gadis yang sangat cantik dan masakannya sangat luar biasa lezatnya. “inilah gadis sempurna yang aku cari,” pikir pemuda tersebut. Setelah pemuda tersebut mendekati sang gadis, alangkah kecewanya pemuda tersebut karena ternyata gadis tersebut berpendidikan amat rendah. Dia hanya lulusan SD dan kemamp[uan memasaknya dia peroleh dari ibunya. Akhirnya dia tinggalkan gadis itu untuk mencari gadis lainnya.
Beberapa waktu kemudian bertemulah pemuda tadi dengan seorang gadis yang sangat cantik, pandai memasak, lulusan S2 sebuah perguruan tinggi ternama dan bahkan sudah memiliki beberapa restoran yang cukup ternama. “Sempurna;” pikir pemuda tersebut,”inilah calon istriku yang selama ini menjadi harapanku.” Namun pemuda tersebut kembali kecewa tidak bisa menikahi gadis tersebut, karena apa? Ternyata gadis tersebut mencari pemuda yang sempurna.
(disarikan dari tulisan Ajahn Brahm)