Sudah 10 bulan saya tinggal di Jakarta, sejak saya tinggalkan tahun 2000, namun baru kemarin malam saya mengalami sebuah kemacetan yang luar biasa. Hari itu Senin, 25 Oktober 2010 pukul 18.00, jarak 5 km aku tempuh dalam waktu 1 jam lebih. Sepeda motor saya hanya berjalan merayap dan sesampai di perempatan Pancoran berhenti sama sekali. Keadaan macet sangat luar biasa. Dalam keadaan stagnan di per-4-an Pancoran semua kendaraan seolah sudah tidak bisa sabar lagi, semua membunyikan klakson (yang menurut saya ndak ada pengaruhnya untuk kemacetan, hanya menambah bising dan semakin emosi). Ditambah lagi kaki kanan saya sedikit kelindas ban mobil yang coba merangsek ke depan memanfaatkan setiap celah. Salah satu ujian kesabaran lagi, batinku.
Setelah itu saya mandi makan dan tiduran sambil ngobrol dengan teman sembari meyalakan televisi. Melalui televisi, dapat saya peroleh informasi ternyata kemacetan Jakarta luar biasa, lebih dari yang aku perkirakan. Bahkan, menurut berita pagi harinya, kemacetan tersebut terjadi sampai dengan pukul 02.00 dini hari, ruarrr... biasa. Namun begitulah Jakarta, kalau tidak begitu bukan Jakartanamanya. Hujan, banjir dan macet adalah santapan penduduk Jakarta setiap hari, bahkan juga penduduk musiman seperti saya ini. Hujan sedikti akan memberikan efek domino terhadap permasalahan yang lain, apalagi hujan lebat seperti kejadian kemarin.
Beberapa waktu yang lalu, ketika saya masih belum menjadi penduduk musiman Jakarta, sang calon gubernur yang akhirnya terpilih, Foke atau Fauzi Bowo, memiliki jargon..” Untuk membangun Jakarta, serahkanlah kepada ahlinya dan kepada yang sudah berpengalaman. Jika tidak, kehancuran hanya tinggal menunggu waktunya.” yang secara tidak langsung mengatakan “saya adalah ahli dalam memecahkan masalah yang dihadapi Jakarta”. Namun selama 3 tahun pemerintahan beliau, saya sebagai warga musiman Jakarta merasakan tidak ada kemajuan selama pemerintahan Sang Gubernur tersebut, dan malah banyak yang berteriak, “Mana yang katanya ahli, kok ndak bisa berbuat apa-apa?”
Saya sependapat dengan sebuah artikel di Detik.Com, yang secara tidak langsung mengatakan bahwa Foke bukanlah orang yang ahli kebijakan namun lebih kepada seorang akademisi sehingga ketika dituntut untuk menjadi seorang aktor yang harus memutuskan suatu kebijakan, dia merasa kesulitan, lihatlah pendidikannya S-1 Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia, S-2 Perencanaan Kota dan Wilayah dari Technische Universitat Braunschweig Republik Federasi Jerman dan Doktor Ingenieur dari Fachbereich Architektur/Raum Und Umweltplanung-Baungenieurwesen Universitat Kaiserlautern Republik Federasi Jerman. Foke memang pinter, tapi mungkin pinter dalam arti sempit secara akademis.
Apa pun komentarnya, secara pendidikan Foke adalah orang pinter. Lalu apa yang menyebabkan, seolah tidak ada perkembangan ke arah yang lebih baik dalam mengatasi masalah Jakarta ini. Saya pun tidak punya data yang dapat digunakan untuk menjastifikasinya, dan hanya sekedar duga-menduga. Duagaan saya ada 2 kemungkinan :
- Foke memang hanyalah seorang akademisi, yang hanya menguasai konsep-konsep secara teoritis yang sifatnya ilmiah tanpa bisa menerjemahkan kepada program kerja yang lebih kongkrit pada level kebijakan; atau
- Karena Foke, pada waktu naik menjadi pimpinan didukung oleh hampir semua kekuatan politik di Jakarta kecuali PKS (yang waktu itu mengusung Adang-Dani) sehingga terkesan kebijakannya masih dipengaruhi oleh berbagai kepentingan sehingga semuanya tidak dilaksanakan secara maksmimal untuk menyelesaikan masalah Jakarta;
- Foke memang tidak berani dan masih takut atau hati-hati;
Dari 3 kemungkinan tersebut, saya berpendapat bahwa sebenarnya Foke adalah sudah tepat menjadi pemimpin Jakarta, secara akademis dia pintar, namun perlu syarat lain yaitu :
- Dia harus mampu mengaplikasikan konsep-konsep teori yang dimiliki pada level kebijakan yang lebih aplikatif;
- Dia harus ‘gila’. Gila di sini artinya dia harus mampu membuat kebijakan-kebijakan yang luar biasa dan cenderung dikatakan gila , karena permasalahan Jakarta sudah bukan merupakan masalah yang biasa lagi, tapi sudah gila/luar biasa. Kebijakan-kebijakan tersebut mungkin tidak populis karena tentunya banyak kepentingan yang akan terlindas. Sehingga untuk membuat kebijakan yang gila, dia harus bisa mengesampingkan semua kepentingan yang ada disekitarnya yang bisa mengganggu. Bahkan kata Tulus Abadi dari YLKI, diperlukan suatu kebijakan yang sangat luar biasa (ekstrimnya) untuk melawan perilaku warga Jakarta yang tingkahnya semakin primitif saja.
Semua itu dugaan saya saja, yang awam terhadap Jakarta, dan sedikit uneg-uneg untuk urun rembug terhadap masalah Jakarta.