Selasa, 26 Oktober 2010

Jakarta oh..Jakarta

Sudah 10 bulan saya tinggal di Jakarta, sejak saya tinggalkan tahun 2000, namun baru kemarin malam saya mengalami sebuah kemacetan yang luar biasa. Hari itu Senin, 25 Oktober 2010 pukul 18.00, jarak 5 km aku tempuh dalam waktu 1 jam lebih. Sepeda motor saya hanya berjalan merayap dan sesampai di perempatan Pancoran berhenti sama sekali. Keadaan macet sangat luar biasa. Dalam keadaan stagnan di per-4-an Pancoran semua kendaraan seolah sudah tidak bisa sabar lagi, semua membunyikan klakson (yang menurut saya ndak ada pengaruhnya untuk kemacetan, hanya menambah bising dan semakin emosi). Ditambah lagi kaki kanan saya sedikit kelindas ban mobil yang coba merangsek ke depan memanfaatkan setiap celah. Salah satu ujian kesabaran lagi, batinku.
Setelah itu saya mandi makan dan tiduran sambil ngobrol dengan teman sembari meyalakan televisi. Melalui televisi, dapat saya peroleh informasi ternyata kemacetan Jakarta luar biasa, lebih dari yang aku perkirakan. Bahkan, menurut berita pagi harinya, kemacetan tersebut terjadi sampai dengan pukul 02.00 dini hari, ruarrr... biasa. Namun begitulah Jakarta, kalau tidak begitu bukan Jakartanamanya. Hujan, banjir dan macet adalah santapan penduduk Jakarta setiap hari, bahkan juga penduduk musiman seperti saya ini. Hujan sedikti akan memberikan efek domino terhadap permasalahan yang lain, apalagi hujan lebat seperti kejadian kemarin.
Beberapa waktu yang lalu, ketika saya masih belum menjadi penduduk musiman Jakarta, sang calon gubernur yang akhirnya terpilih, Foke atau Fauzi Bowo, memiliki jargon..” Untuk membangun Jakarta, serahkanlah kepada ahlinya dan kepada yang sudah berpengalaman. Jika tidak, kehancuran hanya tinggal menunggu waktunya.” yang secara tidak langsung mengatakan “saya adalah ahli dalam memecahkan masalah yang dihadapi Jakarta”. Namun selama 3 tahun pemerintahan beliau, saya sebagai warga musiman Jakarta merasakan tidak ada kemajuan selama pemerintahan Sang Gubernur tersebut, dan malah banyak yang berteriak, “Mana yang katanya ahli, kok ndak bisa berbuat apa-apa?”
Saya sependapat dengan sebuah artikel di Detik.Com, yang secara tidak langsung mengatakan bahwa Foke bukanlah orang yang ahli kebijakan namun lebih kepada seorang akademisi sehingga ketika dituntut untuk menjadi seorang aktor yang harus memutuskan suatu kebijakan, dia merasa kesulitan, lihatlah pendidikannya S-1 Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia, S-2 Perencanaan Kota dan Wilayah dari Technische Universitat Braunschweig Republik Federasi Jerman dan Doktor Ingenieur dari Fachbereich Architektur/Raum Und Umweltplanung-Baungenieurwesen Universitat Kaiserlautern Republik Federasi Jerman. Foke memang pinter, tapi mungkin pinter dalam arti sempit secara akademis.
Apa pun komentarnya, secara pendidikan Foke adalah orang pinter. Lalu apa yang menyebabkan, seolah tidak ada perkembangan ke arah yang lebih baik dalam mengatasi masalah Jakarta ini. Saya pun tidak punya data yang dapat digunakan untuk menjastifikasinya, dan hanya sekedar duga-menduga. Duagaan saya ada 2 kemungkinan :
  1. Foke memang hanyalah seorang akademisi, yang hanya menguasai konsep-konsep secara teoritis yang sifatnya ilmiah tanpa bisa menerjemahkan kepada program kerja yang lebih kongkrit pada level kebijakan; atau
  2. Karena Foke, pada waktu naik menjadi pimpinan didukung oleh hampir semua kekuatan politik di Jakarta kecuali PKS (yang waktu itu mengusung Adang-Dani) sehingga terkesan kebijakannya masih dipengaruhi oleh berbagai kepentingan sehingga semuanya tidak dilaksanakan secara maksmimal untuk menyelesaikan masalah Jakarta;
  3. Foke memang tidak berani dan masih takut atau hati-hati;
Dari 3 kemungkinan tersebut, saya berpendapat bahwa sebenarnya Foke adalah sudah tepat menjadi pemimpin Jakarta, secara akademis dia pintar, namun perlu syarat lain yaitu :
  1. Dia harus mampu mengaplikasikan konsep-konsep teori yang dimiliki pada level kebijakan yang lebih aplikatif;
  2. Dia harus ‘gila’. Gila di sini artinya dia harus mampu membuat kebijakan-kebijakan yang luar biasa dan cenderung dikatakan gila , karena permasalahan Jakarta sudah bukan merupakan masalah yang biasa lagi, tapi sudah gila/luar biasa. Kebijakan-kebijakan tersebut mungkin tidak populis karena tentunya banyak kepentingan yang akan terlindas. Sehingga untuk membuat kebijakan yang gila, dia harus bisa mengesampingkan semua kepentingan yang ada disekitarnya yang bisa mengganggu. Bahkan kata Tulus Abadi dari YLKI, diperlukan suatu kebijakan yang sangat luar biasa (ekstrimnya) untuk melawan perilaku warga Jakarta yang tingkahnya semakin primitif saja.
Semua itu dugaan saya saja, yang awam terhadap Jakarta, dan sedikit uneg-uneg untuk urun rembug terhadap masalah Jakarta.

Senin, 25 Oktober 2010

Instruktur Cerdas

Begitu kagetnya Si Udin, baru kali ini dia ditunjuk sebagai pengajar pengganti suatu diklat yang diselenggarakan oleh kantornya selama tiga hari. Bukan karena Si Udin pintar, tapi karena atasannya yang ditunjuk oleh kantor kebetulan tidak bisa karena sakit. Seumur hidup baru kali ini dia disuruh mengajar. Karena merasa tidak mampu, tidak menguasai materi dan tidak pengalaman, sui Udin pun merasa takut alias grogi. Dengan sekuat tenaga dia menolaknya tapi tetap saja atasannya ndak mau terima.

Akhirnya diputuskan ia terima tawaran tadi. Udin kemudian mengatur strategi agar tidak terlalu banyak ngomong didepan kelas dan dia harus tampil kelihatan percaya diri dan gaya yang disegani. Maka dia kemudian memutuskan untuk bergaya sebagai seorang instruktur yang galak untuk menutupi kekurangannya dan membuat sebuga strategi khusus di tiga hari diklat tersebut.

Pada hari pertama diklat, begitu masuk dia pandangi seluruh peserta diklat, dan dengan diberatkan suaranya berkata, “ Selamat pagi bapak-bapak sekalian, saya tahu Anda sudah terima modul diklat, apakah Anda sudah baca modul tersebut?” dan peserta semua kompak menjawab, “Beluuuumm..!” Kemuadian Udin menampilkan wajah marahnya begitu mendengnar jawaban tersebut, “ Bagaimana saya mau menyampaikan materi ini, kalau anda semua belum membacanya sama sekali, kan modul sudah dibagi, kalian seharusnya membaca terlebih dulu. Sudahlah daripada nggak ada gunanya saya marah-marah, dan nada belum membacanya, kita pulang saja”. Maka kemudian kelas itupun dipulangkan dan para peserta pun pulang dengan paerasaan agak takut. (Alhamdulillah, batin Udin, hari pertama bisa dilewa dengan lancar sesuai skenario).

Keseokaan harinya, hari ke-2, Udin pagi-pagi masuk dan kelas dan berkata, , “ Selamat pagi bapak-bapak sekalian, apakah Anda tadi malam sudah baca modulnya?” dan peserta dengan bangga menjawab, “Sudaaaah Pak..!” Dengan jawaban tersebut, mereka berharap sang instruktur senang, namun ternyata tidak, Udin balas berkata,’ Bagus, tapi buat apa saya mengajar kalau Anda ternyata sudah membaca modul tersebut. Sungguh ndak ada gunanya kan mengajari orang yang sudah memahami materi yang akan diajarkan? Baik sekarang gini saja, dari pada sia-sia karena Anda sudah memahami..kita pulang saja ya.” Dengan wajah bingung, para peserta pun pulang. (Alhamdulillah, pikir Udin, hari kedua juga bisa dilewati dengan lancar sesuai skenario).

Pada hari terakhir, Udin sudah mulai senang, karena tinggal hari ini dia mengajar. Tapi ternyata para peserta pun tambah binggng, apa maunya sang instruktur tersebut. Maka ketika Udin masuk kelas dan menanyakan yang sama, apakah modulnya sudah dibaca, para peserta terbagi dua bagian, sebagian menjawab sudah dan sebagian menjawab belum. Maka Udin kemudian berkata, “ Begini saja, supaya lebih enak di saya dan di Anda, bagi yang belum baca silakan tanya kepada yang sudah baca dan kita pulang saja.. Mudah kan?” Semua peserta tambah bingung, dan kelas pun kemudian dipulangkan. (Alhamduliiah, pikir Udin, semua skenario berjalan sesuai dengan rencana).



Kamis, 21 Oktober 2010

Yuk, Gunakan Lift dengan Beretika

Mempunyai kantor yang ‘gagah’ adalah impian dan kebangaan semua karyawan. Saya ada salah satu yang beruntung. Secara kebetulan saya bekerja di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak. Sebuah instansi yang menempati sebuah gedung baru yang cukup mentereng di Jakarta Selatan, dengan gedung setinggi 27 lantai. Entah mengapa namanya, tetap disebut Gedung 27 Lantai, bukan Menara bla-bla-bla...atau Wisma bla-bla-bla, namun kata orang, kenapa dinamakan Gedung 27 Lantai, karena memang lantainya ada 27 bukan 28 atau 29, kalau ada 29 lantai tentulah namanya Gedung 29 Lantai. Itulah seloroh orang-orang. Dan saya tidak akan mempermasalahkan nama.

Konsekuensi dari sebuah gedung yang tinggi, maka sarana yang tersedia didalamnya salah satunya adalah lift. Kebetulan gedung tersebut dilengkapi dengan 10 unit lift, untuk dapat mendukung sekitar 1500 pegawai yang ada di dalamnya. Sehingga kalau dihitung secara matematis, perlift akan mengangkut rata-rata 150 orang, belum kalau mobilitas pegawai setiap harinya.

Dengan jumlah lantai dan karyawan yang cukup banyak dan jumlah lift yang terbatas, maka kita kan selalu melihat dan bahkan berinteraksi dengan karyawan lain dalam penggunaan lift. Banyak fenomena penggunaan lift yang sebenarnya kurang pas kalau dilihat, atau mungkin bahasa kerennya kurang etis.

Sebelum menguraikan fenomena tersebut, terlebih dahulu saya akan bicara apa sebenarnya etis itu? Etis dan etika adalah dua kata yang mempunyai asal kata sama, namun karena kontek ataupun posisinya dalam kalimat berbeda maka bentuknya berubah. Biasanya bila kita mengalami kesulitan untuk memahami arti sebuah kata maka kita akan mencari arti kata tersebut dalam kamus. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988 – mengutip dari Bertens 2000), salah satu arti etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk termasuk tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Lebih lanjut K. Bertens berpendapat bahwa arti kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut dapat lebih dipertajam sebagai:
  • nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
  • kumpulan asas atau nilai moral.
  • ilmu tentang yang baik atau buruk.
Sehingga menurut saya pengertian etika adalah tentang sesuatu yang baik dan tidak baik, bukan kepada hal yang boleh atau dilarang. Sebagai contoh misalnya makan sambil jalan-jalan merupakan sesuatu yang tidak baik untuk dikerjakan, namun tidak dilarang. Simpulannya etika adalah sebuiah penilaian yang didasarkan pada ‘rasa’.

Kembali dalam hal penggunaan lift, bagi kita mudah untuk mematuhi larangan-larangan dalam penggunaan lift, antara lain :
  • jangan masuk lift apabila sudah overload;
  • dilarang merokok dalam lift;
  • dilarang meloncat-loncat dalam lift (kuda kali)
Namun yang sering tidak diperhatikan bagi pengguna lift adalah etika ketika menggunakan lift. Karena hal-hal tersebut lebih kepada ‘rasa’ tadi. Berikut ini adalah beberapa etika terkait penggunaan lift:
  • Jangan masuk lift sebelum orang didalam lift keluar;
  • Apabila kita akan masuk lift ternyata lift sudah akan tertutup namun kemudian dibukakan oleh olrang yang berada dalam lift maka ucapkan terima kasih, begitu pula sebaliknya apabila ada orang yang kebetulan akan masuk namun kemudian tertutup langkah baiknya kalau kita bukakan dari dalam;
  • Sebaiknya tidak menerima atau menggunakan hp didalam lift karena akan mengganggu orang-orang disekitar dengan bunyi dan ucapan kita;
  • Ketika lift tersebut penuh, dan terpaksa anda bergeser untuk memberi kesempatan orang lain masuk, maka mintalah maaf dengan orang yang berada disamping atau belakang kita yang mungkin terdesak badan kita;
  • Tidak berebutan keluar dari lift, berilah kesempatan pertama untuk orang yang di depan pintu atau yang membawa tas besar;
  • Jika anda berdiri dekat tombol buka tutup, tak ada salahnya untuk menjadi ‘lift operator’ sesaat, contoh bila ada yang mau keluar atau masuk, bantulah dengan menekan tombol buka atau tutup untuk menahan pintu lift sampai orang itu sudah keluar atau masuk;
  • Jangan minta tolong orang lain untuk menekan tombol lantai tujuan kita, kecuali bila mereka duluan yang menawarkan kepada kita;
  • Ucapkan ‘permisi’ atau ‘maaf’ pada orang yang menghalangi tangan anda untuk menekan tombol lantai tujuan kita;
  • Saat berada di lift bersama beberapa teman, janganlah membuat suara gaduh dengan bercanda berlebihan;
  • Tidak memaksakan diri masuk, jika lift sudah terlihat penuh walaupun mungkin kapasitasnya masih bisa masuk;
  • Bila kita berada didepan pintu lift dan keadaan di lift penuh, bila ada orang lain yang ingin keluar dari lift lebih baik anda keluar dulu dari lift untuk memberikan jalan lalu kembali lagi masuk;
  • Karena kebetulan satu gedung hanya untuk satu instansi, sudah dapat dipastikan bahwa kemungkinan besar kita akan ketemu dengan rekan kerja kita walaupun kita tidak saling kenal, yang akhirnya lama-lama akan kenal wajah juga, maka tidak ada salahnya kalau kita saling sapa atau sekedar senyum dan ketika keluar duluan ucapakan “saya duluan” atau “mari pak/mas” atau mungkin senyum saja...tidak ada salahnya kan, karena katanya senyum itu adalah ibadah.
Saya kira masih banyak etika lainnya terkait penggunaan lift, namun yang sedikit tadi mudah-mudahan bermanfaat.

Rabu, 20 Oktober 2010

Setan pun Tidak Kuat

Istri Andi terkenal karena cerewetnya. Kecerewetannya memang luar biasa. Sampai-sampai sepulang kerja, masih juga suaminya di omeli, dan ada saja yang dijadikan bahan omelan. Hanya kesabaran Andi-lah yang membuatnya tahan. Sampai suatu saat, ketika Andi pulang kerja sudah larut, sekitar jam 21.00, istrinya pun menyambutnya dengan omelan karena saking cerewetnya.
Mendengar istrinya sudah kelewatan, akhirnya Andi menjadi emosi. Ia teringat sebuah sumur tua di belakang rumahnya. Karena emosi sudah sedemikian tinggi, akhirnya istrinya diikat kemudian diseret ke belakang rumah untuk di masukkan ke dalam sumur tua teresbut. Walaupun sempat meronta, akhirnya istrinya menyerah juga, dan akhirnya “blump-byar”, istrinya pun dilemparkan ke dalam sumur tua.
Kemudian Andi pun masuk ke rumah. Satu, dua jam berikutnya, ia merasa kesepian juga tidak ditemani istri (namanya juga istri, sejelek-jeleknya tetap dirindui). Andi pun berpikir walaupun istrinya amat cerewet, namun ia merasa ada sesuatu yang hilang disampingnya. Akhirnya Andi pun merasa menyesal dan merasakan bahwa ia tetap memerlukan istri di sampingnya, dan ia memutuskan untuk mengambil istrinya lagi dari dalam sumur.
Akhirnya diambilnya tambang yang dulu buat menimba air dan sebuah ember tua. Kemudian ia turunkan ember tadi ke dalam sumur. Setelahdigoyang-goyang dan terasa agak berat, ia berfikir istrinya sudah naik ke dalam ember. Kemudian ia tarik pelan-pelan tali tadi.
Namun begitu kagetnya ketika nyampai atas, ternyata yang ia tarik adalah seekor makhluk hitam yang menakutkan, yang ternyata adalah setan penunggu sumur tua tersebut. “Ngapain kamu naik kesini?” teriak Andi, Kemudian setan itu berkata, “ Terima kasih Pak, bukan apa-apa Pak, saya bisa terbebas dari dalam sana. Karena di dalam saya nggak kuat ada orang yang sangat cerewet”.

Penelitian Serangga

Pada suatu hari di laboratorium biologi sebuah perguruan tinggi sedang dilakukan penelitian terhadap sebuah binatang serangga. Percobaan itu untuk menguji reaksi apabila serangga tersebut dipotong kakinya.
Percobaan pertama, kaki serangga tersebut dipotong satu, kemudian sang mahasiswa berteriak “Ayo jalan!” dan serangga pun dengan lima kakinya berjalan dengan cepat. Kemudian sang mahasiswa pun mencatatnya.
Percobaan kedua, kaki serangga dipotong satu lagi dan kemudian mahasiswa itu berteriak lagi, “Jalan!” dan dengan agak susah payah serangga itu pun berjalan. Kemudian sang mahasiswa pun mencatatnya lagi.
Percobaan ketiga, kaki serangga dipotong sekali lagi sehingga tinggal 3 kakinya dan kemudian mahasiswa itu berteriak, “Jalan, ayo jalan!” dan beberapa saat kemudian dengan susah payah serangga itu pun berjalan. Kemudian sang mahasiswa pun mencatatnya lagi.
Begitu seterusnya, dan akhirnya sampai pada percobaan keenam, kaki serangga yang tinggal satu biji tadi dipotong, kemudian mahasiswa tadi berteriak “Ayo jalan!”, tapi si serangga tidak berjalan juga, akhir dia berteriak agak keras, “Ayo...ayoo jalan!”, tetap serangga tadi tidak berkeming. Dan terakhir, sang mahasiswa sambil menggebrak meja, berteriak menyuruh jalan, namun serangga tetap tak mau jalan. Dan akhirnya ditulislah simpulan dari penelitian tadi, “bahwa apabila serangga dipotong kakinya sampai habis maka serangga tersebut akan menjadi tuli”.