Rabu, 24 Agustus 2011

MENANTI KEJUJURAN


Menanti kejujuran, sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Ahmad Albar sekitar tahun 80-an. Lagu tersebut mengingatkan pada sebuah cerita yang disampaikan oleh seorang ustazd pada sebuah kajian ba'da sholat Dhuhur di masjid kantor.
Konon ada seorang ayah yang mempunyai kegemaran memelihara burung perkutut. Burung perkutut konon adalah burung yang mahal harganya. Apalagi kalau suara ocehan burung ini sudah terbentuk dengan indah (orang Jawa biasa menyebutnya dengan istilah manggung). Ayah tadi memiliki satu burung perkutut yang memunyai suara sangat indah. Dan burung yang satu ini tentunya mendapat perlakuan yang istimewa. Menyadari burung tadi sangat bernilai maka ayah tadi melakukan perawatan dengan baik. Setiap pagi burung itu dimandikan, kemudian dibersihkan sangkarnya dan diberikan makanan yang baru. Setelah itu burung tersebut dikerek di sebuah tiang gantungan setinggi kurang lebih 5 meter. Barulah kemudian burung tadi akan mengeluarkan suara indahnya.
Ayah tadi mempunyai seorang anak yang masih kecil. Suatu hari anaknya yang masih kecil tadi meminta ijin, agar sekali-kali diberikan kesempatan untuk melakukan pekerjaan ayahnya, yaitu menurunkan burung perkutut tadi, kemudian memandikan dan memberinya makan. Namun sang ayah tadi melarangnya,”Maaf ya nak, kalau belum cukup besar untuk melakukan pekerjaan itu, ayah takut nanti bisa-bisa sangkar burung tadi jatuh dan akhirnya burungnya lepas. Burung itu burung paling berharga yang ayah miliki.” Begitulah kira-kira perkataan dari si ayah tadi. Mendengar jawaban tadi, nampak muka anaknya belum bisa menerima larangan ayahnya tadi, walaupun mulutnya mengucapkan kata-kata, “Ya Ayah.”
Suatu pagi, ketika ayahnya belum keluar rumah, anak kecil tadi masih penasaran dengan keinginannya untuk menurunkan dan memandikan burung tadi. Mengetahui bahwa ayahnya masih di dalam rumah, dengan langkah perlahan dan gerakan yang dipelankan, anak tadi membuka tali sangkar burung dan mencoba menurunkannya. Namun tiba-tiba, anak tadi merasa keberatan dan benar..dalam tempo singkat sangkar burung tadi jatuh, dan akhirnya burung tadi lepas. Menyadari akan perbuatannya, anak tadi kemudian buru-buru membetulkan sangkar tadi dan kemudian menaikkannya kembali ke tempat semula, dan dengan segera meninggalkannya.
Tak berapa lama kemudian, ayahnya keluar dan kemudian, seperti hari-hari biasanya, ia turunkan sangkar burung tadi. Tapi betapa kagetnya ketika dia mengetahui ternyata burungnya sudah tidak ada disangkar. Dan yang pertama yang dia tanya adalah anaknya sendiri, namun anaknya tidak mengakuinya.
Setelah peristiwa itu, sang ayah setiap pagi tampak duduk termenung di dekat tiang tempat burung yang hilang tadi. Dia tampak sangat menyesal dengan kejadian hilangnya burung tadi. Berhari-hari si ayah tersebut melakukan seperti itu. Dan ternyata secara diam-diam, anaknya selalu melihatnya. Tepat di hari ke-7, ketika si ayah termenung di dekat tiang tempat sangkar burung tadi, si anak mendekat dan dengan muka penuh penyesalan dia berkata,” Ayah, maafkan aku ya, sebenarnya aku yang menjatuhkan sangkar burung Ayah sehingga burungnya lepas. Aku takut ayah marah, tapi setelah melihat ayah sedih sekali, aku malah tambah merasa bersalah.”
Mendengar perkataan anaknya tadi, spontan wajah ayahnya berbiar-binar,”Nak, sebenarnya, ayah bersedih bukan karena burung kesayangan ayah lepas, dan lagian ayah sebenarnya sudah tahu siapa yang melepaskannya. Ayah sangat sedih karena menunggu kejujuranmu yang tak kunjung datang. Namun ayah sekarang sangat gembira karena akhirnya kejujuran yang ayah tunggu dari anakku akhirnya datang juga”.
Konon setelah peristiwa itu, si anak tadi tidak berbohomg selama hidupnya.
Kejujuran sudah menjadi barang langka di negeri kita. Menanti kejujuran sudah ibarat menantikan sesuatu yang tidak akan datang. Semoga kisah tadi memberikan hikmah, betapa sebuah kejujuran sangat bernilai bahkan dari suatu yang sangat berharga.

Tidak ada komentar: