Kamis, 10 Februari 2011

Marah atau Sabar pada Pukulan Pertama


Kalau boleh jujur, dalam setiap harinya manusia pasti ada kemarahan. Ada saja beritayang berisikan sebuah informasi kemarahan. Apakah itu dalam lingkup pribadi manusia itu sendiri atau dalam lingkup manusia sebagai sebuah kelompok. Bahkan kita rasakan begitu mudahnya kemarahan masuk ke dalam diri manusia. Bahkan mungkin dapat dikatakan kemarahan tersebut menyulut setiap nafsu manusia secepat api membakar sebuah kertas. Pemicunya pun terkadang hanya sebuah perkara yang sangat sepele. Ada yang hanya dari percakapan yang ringan-ringan saja, atau pun mungkin sesuatu permasalahan yang sifatnya serius.

Apalagi kalau kita perhatikan di negara kita, daftar kemarahan yang kemudian menjurus kepada sarkasme tindakan sangat banyak kita temui. Dari perkara tuduh menuduh, penyelesaian kasus yang tidak tuntas dan memuaskan, ataupun permasalahan yang sebenarnya sudah pada jalur penyelesaiannya tapi ada pihak yang memprovokasi kemudian timbul kemarahan. Dalam tataran pribadi, kemarahan mungkin tidak menyebabkan sebuah kerusakan yang besar pada lingkungan sekitarnya, tetapi ketika kemarahan tersebut menghinggapi sebuah kelompok masyarakat, maka kerusakan di timbulkan pun sangat besar. Kita diingatkan kejadian beberapa waktu yang lalu, penyerangan oleh sekelompok orang terhadap jamaah Ahmadiyah, perusakan beberapa tempat ibadah oleh sekelompok oarang di Temanggung, ataupun kemarahan rakyat Mesir terhdaap presidennya. Semuanya mempunyai dampak yang sangat merusak.

Gede Prama dalam sebuah tulisannya mengatakan bahwa sebenarnya marah itu bukan niat awal dari manusia yang marah. Apakah benar apa yang dikatakan oleh Gede Prama tersebut? Sebenarnya diri manusia mempunyai dua sifat dasar yaitu jelek dan baik, tinggal mana yang akan terpicu kemudian muncul kepermukaan lahiriyah manusia tersebut. Adapun pemicunya bisa muncul akibat pengaruh dari orang tua, sekolah dan lingkungannya. Orang tua terkadang lupa bahwa ia menjadi teladan bagi anaknya, sehingga marah pun menjadi bagian dalam kehidupan keluarganya, seolah-olah hanya dia sendiri yang “menikmatinya”. Sekolah sebenarnya media untuk memberikan keteladanan yang baik dalam kehidupan siswanya, namun contoh-contoh kemarahan banyak ditemui siswa di lingkungan tersebut. Lingkungan adalah faktor pemicu timbulnya pemarah yang dominan, yang kemudian disirami dengan beberapa tontonan televisi yang mengumbar kemarahan, media sebagai bacaan yang mempertontonkan kebencian dan kenyataan sebuah kepemimpinan yang tidak bisa memberikan keteladanan. Semua itulah yang kemudian memicu manusia dengan mudah mengumbar kemarahan.

Kalau ada orang bertanya, apakah marah itu merupakan sifat baik? Tidak ada orang yang akan menjawab bahwa sifat marah itu baik. Marah akan menggerogoti badan kita dan membawa dalam suatu kondisi yang tidak baik, bahkan saya kira tidak ada salahnya sebuah perkataan “cepat marah cepat tua, cepat tua cepat matinya”. Pengaruh marah dalam badan manusia dipastikan tidak baik, walaupun ada yang bilang kalau sudah melampiaskan kemarahan maka akan merasakan sebuah kepuasan. Tapi orang tersebut tidak melihat efek dari tertumpahnya marah yang dikeluarkan. Hubungan antar manusia menjadi tidak harmonis, serba tidak nyaman, apalagi kalau sampai material menjadi korban, maka kerugian bisa dihitung dengan ukuran nominal uang. Lalu, pertanyaan berikutnya yangn muncul adalah apakah sifat pemarah dalam diri manusia harus dihilangkan? Kalau pertanyaan ini, mungkin jawabanya bermacam-macam. Ada logika berpikir yang mengatakan bahwa kalau ada bagian tubuh yang sakit dan tidak bermanfaat, maka seharusnya dibuang. Usus buntu yang sudah meradang dan membusuk lebih baik dipotong dan dibuang, rambut yang sudah terlalu panjang harus dipotong.

Seperti sudah saya sampaikan di awal tadi, dalam diri manusia selalu ada sifat baik dan jelek begitu pula sifat pemarah dan sabar. Itu adalah sudah given anugerah dari Allah Sang Pencipta. Walaupun sifat pemarah bukan merupakan sifat yang baik, bukan berarti kemudian harus dihilangkan. Sifat tersebut merupakan sifat bawaan jelek yang dilekatkan pada diri setiap orang, jadi kita tidak bisa menghilangkan sifat tersebut. Yang harus dilakukan adalah mengontrol sifat tadi supaya tidak lebih dominan dari sifat sabar, atau dengan kata lain sifat sabar harus selalu dipupuk agar lebih dominan dalam diri manusia.

Pemicu marah biasanya adalah adanya sebab yang berasal dari luar. Dalam keadaan normal, begitu ada pemicu maka respon yang paling cepat keluar adalah marah terlebih dahulu. Marah akan keluar tanpa halangan sedikitpun, karena itu merupakan energi negatif yang menyumbat dalam tubuh. Ketika kita bisa mengontrolnya, dengan berusaha memunculkan sabar, dipastikan kemarahan tidak akan keluar. Mengontrol bukan berarti memendam, karena memendam berarti menunda keluarnya amarah tadi. Dengan kesabaran yang lebih dahulu muncul maka diharapkan dapat meredam kemarahan. Memang berat, seperti kata-kata hikmah sabar sebenarnya adalah sabar pada pukulan pertama. Tapi masih ada pepatah satu lagi, alah bisa karena biasa (sesuatu yang berat akan terasa ringan kalau sudah menjadi kebiasaan). Dengan latihan yang tekun, tekad yang kuat, saya yakin kita bisa, karena kita mengharapkan suasana dan lingkungan tempat kita hidup damai dan nyaman.



tulisanku, 10-01-2011, 12.54 WIB

1 komentar:

WONDEFULL UMROH - SUGENG mengatakan...

Kalau sering marah jadi cepet tua ya...?