Selasa, 19 Januari 2016

Keikhlasan Seorang Simbah


Tiba-tiba malam itu aku ingat sebuah peristiwa pada suatu pagi di hari Sabtu. Sekitar pukul 07.30, aku selesai menjalankan rutin di setiap Sabtu pagi, yaitu bermain sepak bola di sebuah lapangan yang jaraknya kurang lebih 3 km dari rumah. Ketika akan kubelokkan sepeda motorku, aku melihat seorang simbah-simbah (nenek-nenek dalam bahasa Jawa) yang menggendong keranjang bambu, akan menyeberang jalan. Kelihatan betul simbah itu sangat ragu-ragu bercampur takut, karena jalanan di pagi hari itu sangat ramai. Biasanya jalanan depan lapangan di pagi hari memang sangat ramai, dari kendaraan roda dua dan tiga hampir memenuhi jalanan di pagi hari. Kemudian kuhampiri simbah itu, dan aku bertanya (dengan bahasa Jawa tentunya), “ Mau ke mana mbah? Mau menyeberang ya?” Dijawab nenek itu,” Ya den, simbah mau ke pasar Cebongan, jalanan ramai sekali, mau menyeberang simbah takut.” Den adalah panggilan untuk seseorang yang dihormati, biasanya diberikan oleh orang -orang di desa.

Pasar Cebongan berjarak sekitar 1.5 km dari lapangan bola tempat saya bermain bola. Waktu itu pikiran saya karena kasihan, aku coba tawarkan ke simbah tadi, “Gimana mbah, kalau saya anter ke pasarnya?” Kebetulan memang arah jalan pulang searah dengan arah pasar Cebongan.Mendengar tawaranku tadi, tak kusangka, ucapan terima kasih dan pujian keluar dari bibir simbah tadi. Dan akhirnya nenek tadi aku bocengkan menuju ke pasar.

Selama perjalanan, simbah tadi bercerita bagaimana kondisi keluarganya. Dia sudah janda dan hidup dengan anak laki-lainya yang bungsu. Diusianya yang sudah tua, dia jualan apa saja di pasar. Menurut saya, anak-anaknya harusnya sudah tidak mengijinkan dia untuk pergi ke pasar sendirian, apalagi jalan sangat ramai. “Kok tidak minta diantar putranya mbah?” tanyaku, “Anak saya belum bangun den, tadi sudah saya bangunkan berkali-kali, tapi tetap tidak mau bangun, tadi malam pulangnya sudah larut malam”, jawab simbah tadi. Setelah itu, simbah tadi malah banyak cerita tentang anaknya yang masih tinggal dengannya, dan semua ceritanya hampir tidak ada yang baik mengenai anaknya tadi. Dari yang masih nganggur, kerjanya main terus, kalau pulang malam, dan itupun hanya makan dan terus tidur.

Sesampai di pasar, setelah turun dari sepeda motor, sebenarnya aku mau langsung memutar untuk pulang, tetapi tiba-tiba simbah tadi memegang tanganku dan..masya Allah..simbah tadi masih mengucapkan terima kasih dan medoakan dengan berbagai macam doa. Saking panjangnya apa yang didoakan oleh simbah tadi, aku sampai mematikan mesin motor saya. Aku hanya berkata dalam hati,”Alhamdulillah...sebuah anugerah yang amat luar biasa dipagi itu”. Aku sangat merasakan keikhlasan yang muncul begitu tulus. Keikhlasan yang menyertai doa simbah tadi sampai masuk ke dalam hati.

Mengenang kisah tadi, saya teringat kedua orang tua. Suatu saat nanti mereka akan memasuki umur seperti si simbah tadi. Tentunya mereka kepengin mempunyai anak-anak yang berbakti. Mereka berharap anak-anaknya akan menjadikan hidup mereka bahagia dan jiwa mereka tenang. Oleh karena itu tugas seorang anak adalah bagaimana ngemong orang tua sehingga mereka akan merasakan kehidupan sebenarnya menjelang akhir-akhir hayatnya.

Saya hanya berpikir dan berharap, semoga keikhlasan doa simbah tadi, membuat Allah mendengarkan dan berpaling untuk mengingatkan anaknya. Kebahagian orang tua adalah ketika melihat anak-anaknya berbakti dan mengerti kondisi orang tuanya. Mudah-mudahan dijelang hari-hari akhirnya, simbah tadi menemukan kebahagiaan bersama anaknya.

Aku pun hanya mengharap semoga doa yang ikhlas dari simbah tadi didengar dan dikabulkan oleh Allah. Kita tidak tahu dari mulut siapa doa yang akan dikabulkan oleh Allah. Dan semoga bisa menjadi anak yang berbakti dan membahagiakan orang tua.

2 komentar:

BUSANAMUSLIM mengatakan...

pelajaran yg luar biasa...
kita jg tidak tahu amalan mana yg membuat Allah ridho dan menjadikan kita masuk surga-Nya.
Maka mari kita terus berbuat kebajikan "sekecil" apapun itu...

Jendela haidar musyafa mengatakan...

Memang, di jagad ini ada kinasih-kinasih Allah yang tak kita ketahui. Namun, justru dari mereka selaiknya kita belajar arti hidup yang sesungguhnya.