Jumat, 28 Januari 2011

Di Jakarta, Senyum Saja Kok Mahal Ya..?

Sudah 1 tahun lebih saya meninggalkan Yogyakarta, homebase-ku. Dan selama itu saya menjadi anak kos di Jakarta. Rumah kosku sekitar sekitar 30 kamar dan hampir 80% terisi. Desain rumah kos tersebut hampir mirip sebuah asrama dengan 3 lantai dan kamar mandi di luar, setiap 3 kamar kos mendapat 1 jatah kamar mandi. Dengan desain sebuah asrama seperti itu mengharuskan setiap penghuni kos akan selalu “wira wiri” di depan kamar kos lainnya setiap melsayakan aktivitas.
Jelas namanya juga rumah kos, yang tinggal di rumah tersebut adalah orang-orang luar kota, dan berdasarkan “penerawangan” saya, sebagian besar adalah orang pulau Jawa atau mungkin malah “wong nJowo”. Kenapa saya bisa bilang seperti itu, karena diaolog mereka menggunakan bahasa Jawa dan sebagian malah menggunakan motor dengan plat AB, AD, H, L dan ada juga yang R (ndak perlu saya sebutkan dari mana asal kendaraan tersebut). Orang Jawa adalah orang yang terkenal dengan latar belakang budaya Jawa yang luhur, mereka mempunyai unggah ungguh dan budaya ramah. Orang Jawa yang saya kenal adalah orang murah untuk tersenyum yang ramah, murah untuk menegur sapa, walaupun hanya sebatas sungging senyum kecil belaka. Masih ingat kalau setiap pulang kampung, setiap nyampai Sabtu pagi di desa saya, saya harus “ndherek langkung” atau paling tidak senyum ketika lewat di depan rumah tetangga dan mereka pun akan mebalasanya dengan tulus.
Namun yang membuat saya merasa tidak nyaman adalah budaya tersebut tidak saya temui di kos-kosan saya,rumah kos yang dihuni mayoritas orang Jawa. Salah satu contoh yang saya rasakan adalah ketika saya gosok gigi di wastafel dan ada salah satu penghuni kos mau ambil gayung sabun yang ditaruh ditatakan wastafel depanku, ia pun tidak menegur atau sekedar permisi, tapi langsung ambil. Tetangga kamar sebelah pun yang suatu waktu kunci motornya jatuh dan saya anterkan ke kamarnya, sampai saat ini pun kalau papasan atau ketemu tanpa ada senyuman, dan padangannya tetap “lrus kedepan”. Bahkan ada pula yang tanpa permisi parkir motor di depan kamar saya tanpa permisi sehingga mengganggu akses saya ke kamar.
Gejala apakah ini? Saya terus terang bukan pengamat sosial. Namun nmelihat tersebut saya merasa ini bukanlah suatu hal yang baik namun tidak juga bisa memberikan analisis gejala apakah ini. Yang saya tahu adalah bahwa ini Jakarta, suatu tempat yang konon rasa toleransi dan kekeluargaan sudah tidak ada lagi (atau lebih halusnya menipis). Kota yang sudah lu-lu dan gue-gue.
Namun marilah kita merenung dan kembalikan kepada asal-usul kita, siapa kita ini. Kita adalah bangsa yang mempunyai budaya luhur dengan nilai-nilai etika yang agung. Bahkan kalau dihitung juga mungkin penghuni Jakarta sebagian besar juga orang Jawa (lho kok terus Jakarta....padahal tadi cuma membahas wilayah kos-kosan saya... saya kira tidak salah, hampir semua kos-kosan kayaknya tidak jauh beda juga) Dari orang-orang yang jelas mempunyai adat-istiadat sangat santun dan ramah, tapi kenapa setelah masuk Jakarta menjadi seperti itu.
Alangkah enaknya kalau sesama penghuni kos dan mungkin sesama penghuni Jakarta kembali mengingat budaya luhur asal-usulnya dan tetap dipertahankan dalam keseharian di ibu kota ini. Apakah beratnya sih senyum dan sapa yang mungkin Cuma sedikti saja. Saya membayangkan bagaimana suasana koks-kosan yang penuh kekeluargaan walaupun hanya sekedar senyum dan permisi keluar dari mulur kita. Bhakan kata-kata bijak, senyum adalah sedekah.
Curhat pribadi...27-01-2011

1 komentar:

Amin SBG mengatakan...

Saya membaca tulisan ini sambil senyum-senyum langsung dikomentari teman sebelah "ngopo mas kok senyum-senyum dewe". Mungkin niat baik penulis untuk senantiasa ramah dengan senyum setiap saat menjadi barang aneh bagi sebagian yang lain. Mungkin mereka juga berguman "nih orang kenape sich tiap hari kerjanye senyum-senyum ame gue, emang kagak punya kerjaan pa ya"