Selasa, 24 Mei 2011

Arti Sebuah Konsekuensi

Beberapa hari ini, pemberitaan tentang tentang kasus korupsi di negara kita memasuki waktu-waktu yang sangat krusial. Beberapa kasus korupsi yang akan maupun sedang diungkap mulai menyentuh orang-orang yang cukup penting sebuah partai, maupun pejabat publik.

Setelah sekian lama KPK tidak bisa menentukan status hukum salah seorang sosialita dalam penanganan kasus korupsi cek pelawat yang menyeret beberapa anggota dan mantan anggota DPR, akhirnya KPK punya keberanian menetapkan sosialita tersebut, yang juga salah seorang istri mantan pejabat penting, sebagai tersangka pemberi suap. Kasus yang saat ini sedang hangat juga adalah kasus dugaan korupsi pembangunan Wisma Atlet Sea Games, yang konon katanya melibatkan bendahara umum partai yang sedang berkuasa di negeri ini. Belum lagi pemberitaan tentang korupsi Wisma Atlet reda, sang bendahara dihadapakan pada dugaan kasus suap terhadap Mahkamah Konstusi senilai hampir Rp. 1 Milyar. Dua contoh kasus yang melibatkan seorang sosialita dan seorang pengusaha kaya.

Dari dulu, pertanyaan yang membuat saya heran adalah kenapa mereka yang menjadi tersangka sebuah kasus korupsi , mau-maunya melakukan perbuatan yang sangat rendah tersebut. Apalagi apabila dicermati, hampir semua kasus korupsi yang terjadi di negeri ini melibatkan orang-orang yang secara ekonomi mapan bahkan berkelebihan. Secara ekonomi, hidup sudah nikmat; kebutuhan sudah bukan merupakan barang yang mahal lagi; relasi sudah tidak terbilang dari yang golongan strata rendah maupun strata tinggi. Apa sebabnya mereka mau melakukan sebuah tindakan yang nantinya akan merugikan dirinya sendiri? Apakah mereka tidak membayangkan sebuah hunian penjara yang tidak nyaman akan menyambut mereka? Apakah mereka tidak membayangkan nasib keluarganya akibat sanksi sosial? Yang jelas, saya masih saja terheran-heran sampai dengan saat ini.

Yang bisa sedikit menjawab keheranan saya adalah adanya sebuah teori tentang perbuatan, yaitu teori utilitas. Menurut teori ini, manusia akan melakukan sebuah tindakan pastinya melalui sebuah perhitungan tentang manfaat yang didapat dan biaya yang akan dilkeluarkan. Tindakan akan dilakukan apabila ternyata keuntungan jauh lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan.

Para koruptor melakukan tindakan tersebut karena ada sebuah keuntungan yang akan dia dapatkan. Yang jelas mereka sudah melakukan analisis untung rugi, walaupun mungkin menurut perhitungan orang awam seperti saya, perhitungan untung rugi yang dilakukan mereka tidak masuk dalam logika perhitungan saya. Mereka tentunya akan melakukan perenungan masak-masak sebelum perbuatan itu dilakukan, dan hasil perhitungan dia, mungkin resiko terungkapnya sangatlah kecil, dan keuntungan yang akan didapatkan sudah tampak di depan mata.

Dalam sebuah analisis untung rugi, resiko adalah masuk dalam kategori biaya (rugi). Terkadang dalam menentukan berapa keugian yang mungkin akan didapatkan, manusia sering hanya menghitung dengan satuan yang setara dengan perhitungan keuantungan. Ada satu sisi resiko yang sering dilupakan manusia dalam perhitungan rugi tersebut. Sisi tersebut adalah sebuah konsekuensi. Ketika seseorang melakukan perbuatan asusila dengan seseorang lainnya dalam suatu ruangan yang tersembunyi, sudah digelapkan dan di luar jam kantor, resiko untuk ketahuannya tentulah amat kecil. Namun di sisi resiko yang sangat kecil tersebut, ada suatu sisi konsekuensi yang luar biasa besar, apabila perbuatan tersebut diketahui oleh orang lain, misalnya dikucilkan dari pergaulan teman satu kantor ataupun mungkin bahkan keduanya akan diberhentikan dengan tidak hormat oleh perusahaan tersebut. Perhitungan resiko seorang koruptor, mungkin hanyalah sebatas jumlah bulan berada di penjara saja. Ada satu sisi konsekuensi dari hukuman tersebut yang tidak terbayang sebelumnya sehingga tidak masuk dalam perhitungannya, antara lain sanksi sosial buat keluarganya dan masa depan yang tidak senyaman seandainya gelar koruptor tidak disematkan.

Hukum Tuhan di dunia ini memang sudah adil, sebuah perbuatan yang baik akan menghasilkan sebuah kebaikan juga. Dan sebaliknya sebuah kejahatan yang menghasilkan sebuah resiko dan konseksuni keburukan yang akan menimpa si pelaku kehajatan tersebut. Ada sebuah teori tentang konsekuensi yang pernah saya baca. Teori ini membahas beberapa premis yang terkait sdengan sebuah konsekuensi.

Yang pertama adalah perbuatan apapun di dunia ini pasti mengandung sebuah konsekuensi tertentu. Apakah itu perbuatan dalam skala besar atau perbuatan dalam skala yang sangat kecil, semuanya akan mengandung sebuah konsekuensi. Sebuah tindakan kebaikan ataupun kemaksiatan dilakukan manusia walaupun hanya sebesar biji atom akan mempunyai sebuah konsekuensi. Kita bersin, kita mencuri, kita berbohong, kita tidak serius, semua pasti ada konsekuensinya. Itulah yang disebut dengan sunatullah, sebuah ketentuan Allah.

Yang kedua adalah bahwa konsekuensi dari sebuah perbuatan dikendalikan oleh hukum alam. Manusia mengira bahwa semua perhitungan untung rugi yang telah dia lakukan sebelum memutuskan suatu perbuatan, akan berjalan sesuai dengan skenario dia. Ia mengira bahwa resiko dan konsekuensi itu bisa diatur dan dikendalikannya. Ia menduga bahwa konsekuensi itu bisa dihilangkan dengan berbagai cara dengan meminimalkan resiko.

Konsekuensi bukan diatur oleh manusia. Konsekuensi akan mengikuti sunatullah atau hukum alam. Sepandai-pandainya Gayus menutupi perbuatan busuknya, akhirnya ada suatu ketentuan yang berada di luar kendalinya yang kemudian membuka aibnya. Hukum alam itu kemudian menjadikannya sebagai seorang pesakitan seperti saat ini. Seorang pengendara sepeda motor, seandainya tahu bahwa masuk dalam jalur bus way mempunyai resiko tertabrak dan bisa berujung kematian dan ia memahaminya dengan sungguh-sungguh, tentunya dia tidak akan masuk dalam jalur tersebut. Prinsipnya manusia bisa saja menghitung untung dan rugi dari perbuatannya, tapi Tuhanlah yang akan mengatur semuanya.

Yang ketiga adalah adalah terdapat jeda antara perbuatan dan konsekuensi yang akan diterima. Inilah yang disebut dengan time of response. Konsekuensi tidak serta merta datang segera setelah perbuatan dilakukan. Jeda inilah yang sering membuat orang mengira bahwa apa yang dia lakukan aman-aman saja, seolah-olah mereka tidak akan mendapatkan kerugian dari perbuatan tersebut. Jangka waktu antara perbuatan dan konsekuensi berbeda-beda. Mungkin saja seorang yang berselingkuh akan tetap disayang istri atau suaminya, mungkin saja seorang koruptor akan menjadi seorang manusia yang terhormat di masyarakat, mungkin saja pembohong masih akan dipercaya, tapi semua itu adalah soal waktu saja. Seperti sebuah pepatah sepandai-pandai tupai melompat akhirnya dia akan jatuh juga. Adanya time of response inilah yang sering membuat manusia lengah, merasa nikmat, terbuai, merasa aman, sehingga menimbulkan efek ketagihan untuk melakukan yang serba lebih lagi, hingga suatu saat dia akan terpeleset dan diungkap semua kemaksiatannya. Barulah saat itu dia melakukan penyesalan.

Yang terpenting adalah marilah kita sadar, bahwa ada kekuatan Tuhan yang akan mengatur semua perbuatan yang kita lakukan. Serumit apapun, sedetail apapun perhitungan kita atas suatu perbuatan yang kita lakukan, pastilah ada satu sisi yang akan berjalan sesuai dengan hukum alam. Konsekuensi adalah rahasia Ilaahi, musykil apabila manusia berusaha mengakalinya, karena sama saja dia berusaha mengakali Tuhannya.

Tidak ada komentar: