Beberapa waktu yang lalu, anak lelaki saya yang duduk di kelas 5 SD minta agar dibelikan handphone yang bermodel QWERTY. Bukan tanpa alasan, dia menceritakan bagaimana teman-teman sebayanya di sekolah, telah mempunyai handphone. Dengan bangganya mereka selalu membagi-bagi nomor handphone yang dimilikinya kepada teman-teman lainnya. Belum lagi fasilitas game, video, kamera yang merupakan bawaan handphone dapat dimainkan setiap kali mereka ingin. Hmm..anak mana yang tidak pengin seperti itu. Menanggapi permintaan anak, saya kemudian saya berpikir, apakah memang anak seusia dia sudah memerlukan handphone dengan tipe smartphone?
Di sekitar kita, anak SD menggunakan smartphone, sejenis Blackberry atau merk yang lain, bukanlah pemandangan yang langka. Bahkan kita juga sering melihat anak usia SMP sudah membawa mobil ketika berangkat ke sekolah. Barangkali juga sering anak kita merengek, “ Yah, yuk kita makan di luar, di restoran anu.” Padahal makanan sudah siap tersaji di rumah. Pola hidup konsumtif sudah menjadi barang biasa di sekitar kita. Orang tua dengan alasan kasih sayang kepada anak dan didukung kemampuan ekonomi untuk memenuhi, sering menuruti apa yang dimaui oleh anak-anaknya. Hal itu menurut saya hal tersebut tidak salah, karena anak adalah buah hati, buat apa bekerja mencari uang kalau bukan untuk membahagiakan buah hatinya. Kesalahan dari sikap seperti itu adalah seringnya tidak memperhatikan mana yang merupakan kebutuhan dan mana yang merupakan keinginan.
Kebiasaan menuruti apa yang menjadi keinginan anak, apabila dibiarkan dan tidak terkontrol, akan menjadi panyakit yang akan merusak jiwa anak-anak, karena anak akan terbiasa terpenuhi apa yang menjadi keinginannya. Pemberian fasilitas untuk memenuhi semua permintaan anak akan membentuk karakter konsumtif, karena secara tidak langsung orang tua akan membentuk karakater tersebut. Pada awalnya, hal tersebut hanya akan menjadikan anak menjadi manja, tidak mandiri dan cenderung egois di hadapan teman-temannya. Ketika karakter yang yang terbentuk pada diri anak tersebut akan mengikut sampai usia dewasa, maka disinilah letak bahayanya. Apabila di masa yang akan di datang, orang tuanya jatuh misikn atau sudah tidak bisa memenuhi keinginan dan kebutuhannya, maka anak dengan karakter konsumtif dan manja tadi akan sangat merasakan dampaknya. Sebuah survey yang pernah saya baca, 80% eksekutif muda dengan penghasilan paling rendah Rp. 15 juta terancam misksin pada masa tuanya, karena gaya hidup yang hanya menuruti gengsi demi status sosial, dengan menghambur-hamburkan uang hanya untuk menuruti keinginannya.
Seorang psikolog dalam sebuha artikel mengatakan, sebenarya hal tersebut dapat diantisipasi dengan menanamkan pola pikir bahwa memenuhi kebutuhan anak itu adalah penting namun harus didasarkan pada alasan kebutuhan, bukan karena keinginan anak, gengsi terhadap anak lainnya atau hanya sekedar menuruti kemauan anak. Orang tua harus secara bijak bisa menanamkan pola pikir kepada anak, bahwa pada waktu yang akan datang dia harus mandiri dan orang tua tidak bisa memberikan sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya. Orang tua perlu berbicara dengan bahasa yang mudah dan sederhana kepada anaknya dalam menyampaikan hal tersebut dan dibarengi dengan sikap selektif dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan anak.
Mengajarkan sejak dini kepada anak tentang bagaimana membedakan antara kebutuhan dan keinginan juga harus dilakukan. Orang tua harus mampu menjelaskan tentang kebutuhan apa yang sesuai dan manfaat apa yang dapat diperoleh. Mengajarkan untuk berperilaku hemat atas uang yang dimiliki perlu juga ditanamkan kepada anak, walaupun mungkin jumlah uang yang dimilikinya hanya sedikit. Dengan kebiasaaan sepert ini, anak akan mempunyai karakter yang mandiri dan tidak bergaya hidup konsumtif, dan tentunya merupakan bekal yang penting di masa yang akan datang.
Kemudian kembali ke pertanyaan awal, perlukah anak SD dibelikan smartphone atau minimal handphone QWERTY?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar