Bahagia itu letaknya di dalam jiwa.......maka jangan melihat milik orang lain karena itu bukan kepunyaan kita agar kita tetap selalu bahagia.
Itulah status yang tertulis pada account gtalk istri saya. Membaca tulisan tersebut perasaan saya mendadak menjadi tidak enak. Sebuah pertanyaan kemudian muncul dalam pikiran saya, penasaran saja. “Apakah ada sesuatu, apakah ada permintaan istri tidak saya turuti sehingga dia menampilkan kekecewaaannya dalam sebuah status gtalk.” Untuk mengobati penasaran saya, kemudian saya coba konfirmasi ke istri saya, tapi ternyata jawabannya “tidak”. Mendengar jawaban tadi, saya kemudian malah berpikir, “Wah, kayaknya status gtalk tadi malah menyindir aku, jangan-jangan istriku mempunyai parasangka bahwa aku memendam sebuah keinginan yang sebenarnya tidak pantas untuk dipengini.”
Kita tinggalkan kalimat tadi. Apapun alasan istri memajang kalimat tersebut, apabila dipikirkan, apa yang ditulis istri saya itu memang benar.
Ketika kita melihat seorang petani berada di tengah sawah, duduk di pematang sawah yang basah, sedang beristirahat sembari menikmati dengan lahap sepiring nasi dan segelas teh panas manis yang dibuatkan istrinya, maka yang terbayang kita adalah betapa nikmatnya mereka. Apalagi ketika kemudian dia menghisap rokok hasil buatannya sendiri, dan menghembuskan asapnya pelan-pelan, maka terbayang alangkah bahagianya hidup mereka, seolah tiada beban kehidupan yang dipikulnya. Alangkah bahagianya apabila kita bisa merasakan sebuah kebahagiaan seperti mereka.
Seorang pengemis hidup di kolong jembatan dengan segala keterbatasannya, tanpa alas tidur, tanpa atap rumah dan tanpa pakaian yang layak. Ketika melintas sebuah mobil mewah, tentu mereka akan berpikir, alangkah nikmatnya pemilik mobil itu. Dia mempunyai mobil mewah, rumah besar dengan fasilitas lengkap, kehidupan yang berkecukupan. Pastilah dia mempunyai keluarga yang bahagia, istri yang sangat menyayangi, anak-anak yang menyenangkan. Betapa bahagianya apabila aku menjadi seperti dia, begitulah lamunannya.
Ketika melihat seorang wanita yang berwajah cantik, berparas ayu, berbadan bak bidadari, maka seorang lelaki terkadang berpikir alangkah bahagianya lekaki yang memiliki istri wanita itu. Pastilah dia akan selalu lengket dan memanjakan istrinya; dia akan selalu berdekat-dekatan dengan istrinya; pastilah si suami itu akan sangat betah untuk bercengkerama dengan istrinya. Alangkah bahagianya seandainya aku mempunyai istri wanita itu, pikir lelaki itu. Begitu pula sebaliknya sebagian wanita yang sudah berkeluarga ketika melihat seorang lelaki yang tampan, pasti akan berpikir, alangkah bahagianya hidup ini bila punya pendamping seperti dia.
Seorang pegawai rendahan ketika melihat pimpinannya, akan berpikir alangkah nikmatnya menjadi bos. Mudahnya mereka bekerja hanya dengan memberikan perintah, betapa nikmatnya dia mempunyai gaji yang jauh lebih besar. Alangkah gampangnya seandainya mereka menginginkan sesuatu tinggal ambil uang dan membelinya. Lain dengan aku yang harus mengekang keinginan karena keterbatasan uang. Seandainya saja aku menjadi seperti dia, begitulah pikir si pegawai tadi, pastilah aku akan membahagiakan keluargaku.
Sebaliknya, ketika si pimpinan melihat pegawainya, dia akan berpikir, begitu bahagianya para buruh itu. Mereka bekerja seolah tanpa beban. Mereka bekerja tanpa harus membuat pertanggungjawaban yang rumit, tinggal melaksanakan perintah. Mereka selalu bekerja dengan diiringi tawa, kelakar dan canda sesama buruh. Begitu menikmatinya mereka. Seandainya aku seperti dia, begitulah pikir si bos tadi.
Begitulah kehidupan berjalan. Seseorang akan selalau membuat pangandaian, berkhayal, memimpikan sesuatu yang tidak bisa dialaminya saat ini. Melihat seseorang mempunyai istri cantik atau suami tampan, maka ia akan membayangkan betapa bahagianya mempunyai istri yang cantik atau suami yang tampan. Melihat seseorang begitu nikmatnya melakoni pekerjaaanya dengan kelakar dan tampak nyaman, ia akan berkhayal, andaikata aku bisa seperti itu ….. “Andai saja aku bisa seperti dia, betapa bahagianya….”
Itulah sebabnya orang tidak bahagia. Karena ia mengharapkan sesuatu yang tidak nyata. Ia mengkhayalkan sesuatu yang bukan dirinya. Ia membayangkan posisi yang bukan haknya. Ia terus dikejar keinginan yang tidak pernah terlaksana. Ia mengejar kebahagiaan seperti yang ia lihat pada orang lain. Ia mencari kebahagiaan sebagaimana ia saksikan pada banyak kalangan manusia.
Kalau semua manusia seperti tu maka dia tidak akan menemukan arti kebahgaian itu sendiri. Mereka akan kesulitan untuk menemukan definisi kata bahagia. Karena mereka akan mengartikan bahagia itu berdasarkan apa yang mereka lihat, rasakan, bayangkan pada diri orang lain. Selama orang masih merasakan kebahagiaan dengan berstandarkan pada orang lain, sampai kapan pun dia tidak akan merasa bahagia. Merek akan kesulitan memberikan makna bahagia karena dia sendiri belum bisa merasakan kebahagiaan.
Mengutip kalimat dalam tulisan Pak Cah, untuk dapat merasakan kebahagiaan, manusia harus masuk ke dalam dirinya sendiri, dan menemukan kebahagiaan di dalam dirinya sendiri. Harusnya ia selalu menikmati semua yang ada. Merasakan kasih sayang Tuhan dalam setiap kejadian yang menimpanya. Menghayati kehidupan dari semua pemberian Tuhan yang didapatkan setiap hari. Sedikit atau banyak, itu tinggal cara kita menghitungnya.
Kebahagaian bukan berada dalam sebuah mobil mewah, istri cantik, suami tampan, rumah mewah. Tapi kebahagiaan adalah adalah sebuah perasaan yang ditimbulkan dari bagaimana kita bisa merasakan nikmat yang ada dalam diri kita.
Mobil, rumah mewah, pakaian adalah pelengkap kehidupan, kecantikan dan ketampanan adalah sebuah hiasan saja, jabatan adalah suatu titipan saja dalam kehidupan ini. Mereka tidak akan membuat kita menjadi bahagia apabila kebahagiaan disandarkan pada hal-hal tersebut, karena memang letak bahagia bukan dalam barang dan atribut tadi.
Kebahagiaan hanya bisa dimunculkan dari dalam diri kita. Bahagia itu letaknya di dalam jiwa, bukan pada hal-hal yang menjadi penghias kehidupan. Bahagia tidak bisa disamakan gemerlapnya sebuah kehidupan, karena bahagia adalah sesuatu yang abstrak dan hanya bisa diukur dengan dengan jiwa yang nrimo dan pikiran yang selalu dipenuhi husnudzon kepada Sang Pencipta.
Apabila kita belum mendapatkan kebahagiaan, maka carilah kebahagiaan dengan menyelam ke dalam jiwa kita sendiri. Bukan dengan mengkhayalkan hak orang lain yang tidak kita miliki. Jika anda terus mencari-cari kebahagiaan kepada benda-benda, selamanya anda tidak akan pernah bisa merasakan bahagia. Jika anda terus menerus mencari kebahagiaan kepada atribut-atribut, selamanya anda tidak akan pernah bisa merasakan bahagia.
Bahagia itu letaknya di dalam jiwa. Benda-benda, atribut-atribut, asesoris-asesoris, itu hanya hiasan saja. Sama dengan hiasan lainnya. Karena bahagia itu letaknya di dalam jiwa.......maka jangan melihat milik orang lain karena itu bukan kepunyaan kita agar kita tetap selalu bahagia. Marilah kita segera temukan bahagia dalam hidup ini apapun kondisi hidup kita saat ini.
(semoga bermanfaat...saya sangat senang apabila pembaca berkenan memberikan komentar untuk perbaikan...)
3 komentar:
good writing, ringan, mengalir dan mempunyai pesan..
Selamat berkarya Mas..
top markotop, produktif tenan sekarang. manfaatkan momen2 ini kang, segala sesuatu ada nafasnya.
semakin hari, semakin mengalir idenya. semakin natural penuturannya. semakin bernas isinya.
laik this..
lanjutkan, menulis itu bagian dari usaha kita memprasastikan ide-ide dan lintasan pikiran kita, agar orang lain bisa ikut mengambil pelajaran darinya.
Alhamdulillah...belajar dan masih tetap harus belajar..
Posting Komentar