Agenda naik
sepeda di hari Sabtu pagi biasanya saya tidak melewatkan untuk mampir membeli
jajajan gathot dan thiwul. Makanan khas wilayah Yogyakarta yang memberikan
kesan jajanan ndeso.
Semua
orang pasti mengenal jenis makanan tersebut. Dan semua orang pasti tahu bahwa
makanan tersebut berasal dari daerah Yogyakarta, atau tepatnya daerah Gunung
Kidul. Tapi tidak semua orang tahu bahwa dalam tata bahasa Jawa, menulis kedua
jenis makanan tersebut harus dengan ‘TH” bukan gatot dan tiwul tapi gathot dan
thiwul, karena dalam bahasa Jawa antara T dan TH cara melafalkannya berbeda,
yang mana TH dibaca seperti orang Bali melafalkan kata patung. Dengan
menggunakan TH dalam penulisan kedua kata tersebut, maka ketika kita
melafalkannya makna dan cita rasa makanannya pun mulai dapat dirasakan.
Apabila
kita ke Yogyakarta, tidaklah lengkap apabila kita tidak mencicipi kedua makanan
tersebut. Di hampir semua pasar pagi atau sore, kita dapat menjumpai jajanan
tersebut walaupun untuk waktu-waktu sekarang ini mulai berkurang jumlah
pedagangnya. Mungkin sebagian orang sudah menganggap ketinggalan jaman. Namun
menurut saya, tidak ada kata ketinggalan jaman untuk kedua jajanan tersebut. Dengan
rasa manis yang khas dari bahan baku ketela, memberikan nuansa rasa masa lalu dan
tidak ada yg bisa menyamai.
Salah
satu tempat yang menjajakan makanan tersebut adalah sebelah barat perempatan Tugu,
kurang lebih 200 meter sebelah selatan jalan. Mulai pukul 5.30 pagi, warungnya
sudah mulai didatangi oleh pembeli. Yang jualan adalah seorang ibu-ibu tua
(simbah-simbah, orang Jawa bilang) dan biasanya dibantu oleh anak perempuannya.
Sampai dengan saat menulis artikel ini, saya belum sempat ngobrol untuk menanyakan
siapa nama simbah penjual gathot dan thiwul tadi. Yang jelas, simbah tadi
pernah mengatakan bahwa mulai jualan sejak tahun 1963 alias sudah 52 tahun.
Pantas saja rasa dan aromanya sudah teruji dan selalu ngangeni.
Bagi saya
yang sering menikmati jajanan tadi, tidak berlebihan apabila saya katakan rasanya
cukup sempurna. Dan buktinya para pelanggan bahkan sampai antri 15 sd 40 menit
untuk mendapatkan jajanan tadi. Satu porsi biasanya dijual dengan harga Rp.
3000,- dalam bentuk “tempelan”. Selain gathot dan thiwul, simbah tadi juga
menjual cenil dan lupis. Empat sekawan makanan khas Yogya yang biasa dijual
dalam satu paket warung tersebut.
![]() |
cenil, sumber : www.google.com |
Cenil
adalah makanan yang terbuat dari pati ketela pohon juga. Makanan ini bisa dibentuk
bulat, memanjang atau kotak kemudian diberi warna sesuai selera sebelum
direbus. Cenil biasanya disajikan dengan parutan kelapa
sedangkan lupis adalah kue manis
yang terbuat dari beras ketan dan biasanya ditambahkan
kemanisannya dengan adanya kelapa parut dan gula aren.
![]() |
lupis, sumber : www.google.com |
Lupis biasanya dibuat dalam bentuk bulat lonjong
yang dibungkus dengan daun pisang. Ketika akan menyajikannya, lupis
dipotong-potong seperti memotong lontong.
Yang cukup menarik adalah cara
motongnya, bukan dengan pisau atau sejenisnya, tetapi dengan benang yang
diikatkan pada jari telunjuk simbah tadi, dan dengan cekatan simbah tadi bisa
memotong dengan rapi dan cepat. Saya
sempat komentar, “wah trampil banget Mbah!” dan simbah tadi hanya menjawab,’nggih
pripun malih, wong sampun kawit tahun 1963”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar