Rabu, 23 September 2015

GATHOT DAN THIWUL

Agenda naik sepeda di hari Sabtu pagi biasanya saya tidak melewatkan untuk mampir membeli jajajan gathot dan thiwul. Makanan khas wilayah Yogyakarta yang memberikan kesan jajanan ndeso.

Semua orang pasti mengenal jenis makanan tersebut. Dan semua orang pasti tahu bahwa makanan tersebut berasal dari daerah Yogyakarta, atau tepatnya daerah Gunung Kidul. Tapi tidak semua orang tahu bahwa dalam tata bahasa Jawa, menulis kedua jenis makanan tersebut harus dengan ‘TH” bukan gatot dan tiwul tapi gathot dan thiwul, karena dalam bahasa Jawa antara T dan TH cara melafalkannya berbeda, yang mana TH dibaca seperti orang Bali melafalkan kata patung. Dengan menggunakan TH dalam penulisan kedua kata tersebut, maka ketika kita melafalkannya makna dan cita rasa makanannya pun mulai dapat dirasakan.

Apabila kita ke Yogyakarta, tidaklah lengkap apabila kita tidak mencicipi kedua makanan tersebut. Di hampir semua pasar pagi atau sore, kita dapat menjumpai jajanan tersebut walaupun untuk waktu-waktu sekarang ini mulai berkurang jumlah pedagangnya. Mungkin sebagian orang sudah menganggap ketinggalan jaman. Namun menurut saya, tidak ada kata ketinggalan jaman untuk kedua jajanan tersebut. Dengan rasa manis yang khas dari bahan baku ketela, memberikan nuansa rasa masa lalu dan tidak ada yg bisa menyamai.

Salah satu tempat yang menjajakan makanan tersebut adalah sebelah barat perempatan Tugu, kurang lebih 200 meter sebelah selatan jalan. Mulai pukul 5.30 pagi, warungnya sudah mulai didatangi oleh pembeli. Yang jualan adalah seorang ibu-ibu tua (simbah-simbah, orang Jawa bilang) dan biasanya dibantu oleh anak perempuannya. Sampai dengan saat menulis artikel ini, saya belum sempat ngobrol untuk menanyakan siapa nama simbah penjual gathot dan thiwul tadi. Yang jelas, simbah tadi pernah mengatakan bahwa mulai jualan sejak tahun 1963 alias sudah 52 tahun. Pantas saja rasa dan aromanya sudah teruji dan selalu ngangeni.

Bagi saya yang sering menikmati jajanan tadi, tidak berlebihan apabila saya katakan rasanya cukup sempurna. Dan buktinya para pelanggan bahkan sampai antri 15 sd 40 menit untuk mendapatkan jajanan tadi. Satu porsi biasanya dijual dengan harga Rp. 3000,- dalam bentuk “tempelan”. Selain gathot dan thiwul, simbah tadi juga menjual cenil dan lupis. Empat sekawan makanan khas Yogya yang biasa dijual dalam satu paket warung tersebut. 
 
cenil, sumber : www.google.com
Cenil adalah makanan yang terbuat dari pati ketela pohon juga. Makanan ini bisa dibentuk bulat, memanjang atau kotak kemudian diberi warna sesuai selera sebelum direbus. Cenil biasanya disajikan dengan parutan kelapa sedangkan lupis adalah kue manis yang terbuat dari beras ketan dan biasanya ditambahkan kemanisannya dengan adanya kelapa parut dan gula aren.


lupis, sumber : www.google.com










Lupis biasanya dibuat dalam bentuk bulat lonjong yang dibungkus dengan daun pisang. Ketika akan menyajikannya, lupis dipotong-potong seperti memotong lontong. 

Yang cukup menarik adalah cara motongnya, bukan dengan pisau atau sejenisnya, tetapi dengan benang yang diikatkan pada jari telunjuk simbah tadi, dan dengan cekatan simbah tadi bisa memotong dengan rapi  dan cepat. Saya sempat komentar, “wah trampil banget Mbah!” dan simbah tadi hanya menjawab,’nggih pripun malih, wong sampun kawit tahun 1963”.

Silakan dicoba, kalau ketagihan silakan ajak saya.

Tidak ada komentar: