Rabu, 30 Desember 2015

MANUSIA YANG OTENTIK

Pernah suatu kali saya mendapat pelatihan tentang manajemen waktu, dan yang saya ingat pada saat itu adalah salah satu tip agar hari kita lebih tertata dalam pekerjaan kantor adalah jangan membuka email pada pagi hari saat memulai pekerjaan. Namun aturan tersebut pagi ini saya langgar. Saya buka email yang beberapa hari memang belum sempat saya buka. Ada satu tulisan yang cukup menarik yang dikrimkan dalam sebuah milist. Tulisan yang dibuat oleh Dr Andi Irawan tersebut membahas tentang sebuah kata yang baru pertama kali saya dengan yaitu otensitas.

Otensitas adalah kata benda dari kata otentik. Otentik mempunyai makna asli, tulen, atau genuine. Sifat yang melekat pada sesuatu yang asli dan genuine akan mempunyai karakter yang kuat. Makanya sering kita dengar, orang akan cenderung memilih onderdil kendaraan yang genuine.  Manusia otentik adalah manusia yang mempunyai karakater kuat sehingga ia akan tampil sebagai manusia dengan kapasitas terbaiknya. Manusia otentik adalah manusia yang bernilai tinggi tanpa harus ditopang apapun. Mereka adalah manusia yang tangguh tanpa ada penunjang apapun, mereka tercium harum tanpa ada pencitraan, mereka tidak perlu pendorong untuk tampil sempurna karena ia telah mengorbit dengan kapasitasnya,.

Kehidupan masa lalu telah menghadirkan banyak manusia otentik. Sejarah telah menghadirkan orang-orang yang mempunyai otensitas. Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan, kita mengenal Jenderal Sudirman. Tak seorangpun yang tidak mengakui kapasitas dan ketangguhannya dalam mempimpin perjuangan melawan penjajah. Sebagai seorang panglima perang, dia mempunyai track record yang luar biasa. Dalam kondisi sakit parah, dia mampu memimpin dan menggelorakan semangat pantang mundur melawan penjajah.

Ketika amunisi perang yang kita miliki kalah dalam segala hal jika dibandingkan dengan yang dimilki penjajah, sedangkan peperangan harus tetap berlangsung untuk mempertahakan eksistensi negara Indonesia, diperlukan seorang panglima yang cerdas dan mempunyai karakter pemimpin sekaligus pejuang. Dan Jenderal Sudirman bisa membuktikan otensitasnya di lapangan sebagai seorang manusia yang tanpa perlu panggung untuk bisa meyakinkan semua orang bahwa dia adalah panglima perang yang cerdas dan tangguh.

Orang-orang yang mempunyai otensitas tidak terbentuk secara instan. Bahkan dapat dikatakan untuk manusia otentik bukanlah perkara yang mudah. Charles Guignon dalam bukunya On Being Authentic, untuk menjadi manusia otentik, seseorang harus menemukan jati dirinya terlebih dahulu melalui proses refleksi dan kemudian mengekspresikan penemuan jati dirinya tersebut dalam kehidupan riil. Hanya dengan mengekspresikan jati diri sejatinyalah orang dapat mencapai kepenuhan diri sebagai manusia yang otentik. Melecutkan semangat untuk mengaktualisasikan dirinya secara maksimal dalam kehidupan riil adalah kunci untuk menjadi manusia otentik.


Jenderal Sudirman adalah manusia otentik. Untuk menjadi seorang panglima besar yang ditakuti oleh lawan dan diakui oleh kawan, tidaklah perlu ada yang mempromosikannya. Tidak perlu disediakan panggung peperangan untuk tampak hadir.  Karena ia adalah manusia yang punya kapasitas terlepas engkau beri dia panggung atau tidak, dia adalah orang hebat tanpa perlu cher-leader dan iklan untuk menunjukkan kehebatannya.

Kamis, 03 Desember 2015

SUSU ASIN KANJENG NABI

Suatu hari Nabi Muhammad pulang ke rumah setelah melakukan sebuah perjalanan. Kebiasaan istri Nabi, ketika suaminya pulang adalah menyambutnya dengan senyum dan membuatkannya segelas susu manis. Kebiasaan inilah salah satu contoh betapa harmonisnya keluarga Nabi sehingga menjadi teladan semua keluarga yang menjadi ummatnya.

Setelah membetulkan bajunya supaya lebih nyaman , duduklah Nabi dikursi yang ada di ruang tengah, dan setelah itu istrinya pergi ke dapur untuk membuatkan segelas susu. Karena agak terburu-buru, atau sangat gembira karena suaminya pulang, konsentrasinya agak berkurang. Air panas susu yang seharusnya diberi du sendok gula, ternyata yang tersensok bukanlah gula, melainkan garam. Tapi hal tersebut tidak dikehatui oleh sang istri tadi. Terkadang dalam kondisi yang tidak terlalu konsentrasi ditambah warna dan bentuknya yang sama, sangat wajar bila sulit membedakan antara gula dan garam.

Setelah diaduk, dengan senyum mengembang, kemudian dia melangkah ke ruang tempat Nabi sedang duduk. Dengan sopan susu tadi kemudian dihidangkan kepada Nabi dan Nabi langsung meneguk gelas berisi susu tadi.  Karena begitu hausnya, pada awal sebelum meneguk, nabi sudah berniat untuk langsung menghabiskannya. Mungkin sudah membayangkan, dalam kondisi lelah dan haus betapa nikmatnya susu tadi. Tapi begitu terteguk hampir separuh, nabi kaget, susu yang seharusnya manis tersebut kenapa rasanya asin. Tetapai karena tidak ingin mengecewakan istrinya, Nabi mencoba untuk tidak merubah mimik wajahnya. Diletakannya gelas tadi sambil menelan rasa asin di lidah, Nabi tetap memaksakan senyum di wajah agar istrinya tidak curiga terhadap apa yang terjadi.

Sepandai-pandainya menutupi, sang istri pun tetap bisa membaca, bahwa ada sesuatu yang tidak biasa. Nabi selalu menghabiskan susu yang dihidangkan istrinya dalam satu rangkaian tegukan. Namun kali ini Nabi masih menyisakan separuh gelas. Ada apa? Gumam istrinya. Kemudian dia beranikan untuk bertanya. Saya tidak akan buat kalimat langsung utk pertanyaan istri kepada Nabi tadi, karena terus terang tidak tahu bagaimana panggilan sang istri tadi ke suaminya, apakah aa, mas, kakanda, sayang, atau yang lain. Langsung saja, dia bertanya kenapa Nabi masih menyisakan separuh gelas?

Nabi tidak serta merta menjawab pertanyaan tadi. Setelah beberapa saat, di waktu masih menahan sisa asin di lidahnya, Nabi masih bisa memunculkan kalimat mesra untuk istrinya. “masih ingatkah ketika ketika baru saja menikah? Waktu kita bulan madu? Waktu itu setiap kita makan, maka kita pun makan dalam piring yang sama, separuh untukku dan separuh lagi untuk kamu. Ketika kita minum, kita pun minum pada gelas yang sama, separuh untukku dan separuh untukmu. Hari ini aku ingin mengenang saat indah itu, maka aku masih sisakan separuh susu di gelas itu untukmu”. Cie-cie begitu indahnya. Coba bayangkan kalau itu bukan Nabi, mana mungkin kalimat itu bisa muncul.

Mendengar kalimat dari surga tersebut,  sang istri pun merasa tersanjung, dan dengan senyum mengembang, serta mata berkedip-kedip agak malu, sang istri kemudian mengambil gelas tadi. Dalam sekejap gelas tadi sudah menepel di bibirnya, dan dengan tegukan penuh percaya diri, susu pun mulai mengalir masuk mulutnya. Ups, ketika aliran pertama membasahi lidah, sang istri kaget. Secara reflek lidah pun menolak untuk mendorong masuk ke kerongkongan, walaupun ada sebagian yang sudah masuk dan segera dia tarik gelas dari bibirnya. Wajah merah kaerna merasa bersalah dan malu pun langsung tergambar. Secara spontan dengan perasaan malu dan  bersalah yang amat sangat, dia pun meminta maaf. Nabi pun dengan senyum kemudian memeluk istrinya, seraya berpesan untuk lain waktu agar berhati-hati.

Kisah di atas adalah kisah yang memang nyata terjadi pada zaman Nabi. Mungkin saja narasinya yang terlalu saya buat lebay. Namun saya ingin mengggambarkan bagaimana sebagian kecil dari sebuah eposide dalam keluarga Nabi. Dalam berumah tangga, konflik kecil ataupun riak-riak ketidaksinkronan antara suami dan istrio sering muncul. dan tidak terkecuali pada keluarga Nabi. Munculnya konflik dalam berumah tangga adalah hal yang biasa dalam sebuah hubungan atau interaksi antar manusia. Bahkan menurut para ahli konseling rumah tangga, konflik-konflik kecil tersbut diperlukan untuk menjaga keharmonisan rumah tangga. Apabila hubungan antar suami istri ‘baik’ terus, maka suasana yang tercipta adalah sebuah hubungan yang datar tanpa ada variasi suasana.


Potensi konflik pasti selalu ada. Biasanya disebabkan oleh ketidakpusaan dari salah satu pasangan, ada miskomunikasi  atau masalah-masalah lainnya. Potensi tadi akan menjadi apa atau apa yang terjadi selanjutnya adalah tergantung dari bagaimana masing-masing menyikapinya. Ketika kita bersikap rasional dan memahami segala sesuatunya bisa saja terjadi, maka potensi tadi tidak akan menjadi masalah yang kemudian akan memicu konflik. Susu yang rasanya asin, kalau kita memahami bahwa hal tersebut terjadi bukan karena kesengajaan maka hal tersebut tidak akan menjadi masalah.  Kondisi dapur yang berantakan, anak yang rewel minta perhatian, kamar mandi yang  kotor dan bau, akan menjadi masalah yang menimbulkan konflik atau tidak adalah tergantung bagaimana cara kita menyikapinya. Dan bagaimana mengolah potensi masalah menjadi sesuatu yang berakhir indah, Nabi telah memberikan contoh nyata di atas.