Suatu hari Nabi Muhammad pulang
ke rumah setelah melakukan sebuah perjalanan. Kebiasaan istri Nabi, ketika suaminya
pulang adalah menyambutnya dengan senyum dan membuatkannya segelas susu manis. Kebiasaan
inilah salah satu contoh betapa harmonisnya keluarga Nabi sehingga menjadi
teladan semua keluarga yang menjadi ummatnya.
Setelah membetulkan bajunya
supaya lebih nyaman , duduklah Nabi dikursi yang ada di ruang tengah, dan
setelah itu istrinya pergi ke dapur untuk membuatkan segelas susu. Karena agak
terburu-buru, atau sangat gembira karena suaminya pulang, konsentrasinya agak berkurang.
Air panas susu yang seharusnya diberi du sendok gula, ternyata yang tersensok
bukanlah gula, melainkan garam. Tapi hal tersebut tidak dikehatui oleh sang
istri tadi. Terkadang dalam kondisi yang tidak terlalu konsentrasi ditambah
warna dan bentuknya yang sama, sangat wajar bila sulit membedakan antara gula
dan garam.
Setelah diaduk, dengan senyum
mengembang, kemudian dia melangkah ke ruang tempat Nabi sedang duduk. Dengan
sopan susu tadi kemudian dihidangkan kepada Nabi dan Nabi langsung meneguk
gelas berisi susu tadi. Karena begitu
hausnya, pada awal sebelum meneguk, nabi sudah berniat untuk langsung menghabiskannya.
Mungkin sudah membayangkan, dalam kondisi lelah dan haus betapa nikmatnya susu tadi.
Tapi begitu terteguk hampir separuh, nabi kaget, susu yang seharusnya manis
tersebut kenapa rasanya asin. Tetapai karena tidak ingin mengecewakan istrinya,
Nabi mencoba untuk tidak merubah mimik wajahnya. Diletakannya gelas tadi sambil
menelan rasa asin di lidah, Nabi tetap memaksakan senyum di wajah agar istrinya
tidak curiga terhadap apa yang terjadi.
Sepandai-pandainya menutupi, sang
istri pun tetap bisa membaca, bahwa ada sesuatu yang tidak biasa. Nabi selalu
menghabiskan susu yang dihidangkan istrinya dalam satu rangkaian tegukan. Namun
kali ini Nabi masih menyisakan separuh gelas. Ada apa? Gumam istrinya. Kemudian
dia beranikan untuk bertanya. Saya tidak
akan buat kalimat langsung utk pertanyaan istri kepada Nabi tadi, karena terus
terang tidak tahu bagaimana panggilan sang istri tadi ke suaminya, apakah aa,
mas, kakanda, sayang, atau yang lain. Langsung saja, dia bertanya kenapa Nabi
masih menyisakan separuh gelas?
Nabi tidak serta merta menjawab pertanyaan
tadi. Setelah beberapa saat, di waktu masih menahan sisa asin di lidahnya, Nabi
masih bisa memunculkan kalimat mesra untuk istrinya. “masih ingatkah ketika
ketika baru saja menikah? Waktu kita bulan madu? Waktu itu setiap kita makan,
maka kita pun makan dalam piring yang sama, separuh untukku dan separuh lagi
untuk kamu. Ketika kita minum, kita pun minum pada gelas yang sama, separuh
untukku dan separuh untukmu. Hari ini aku ingin mengenang saat indah itu, maka
aku masih sisakan separuh susu di gelas itu untukmu”. Cie-cie begitu indahnya. Coba bayangkan kalau itu bukan Nabi, mana
mungkin kalimat itu bisa muncul.
Mendengar kalimat dari surga tersebut,
sang istri pun merasa tersanjung, dan
dengan senyum mengembang, serta mata berkedip-kedip agak malu, sang istri
kemudian mengambil gelas tadi. Dalam sekejap gelas tadi sudah menepel di
bibirnya, dan dengan tegukan penuh percaya diri, susu pun mulai mengalir masuk
mulutnya. Ups, ketika aliran pertama
membasahi lidah, sang istri kaget. Secara reflek lidah pun menolak untuk
mendorong masuk ke kerongkongan, walaupun ada sebagian yang sudah masuk dan
segera dia tarik gelas dari bibirnya. Wajah merah kaerna merasa bersalah dan
malu pun langsung tergambar. Secara spontan dengan perasaan malu dan bersalah yang amat sangat, dia pun meminta
maaf. Nabi pun dengan senyum kemudian memeluk istrinya, seraya berpesan untuk
lain waktu agar berhati-hati.
Kisah di atas adalah kisah yang
memang nyata terjadi pada zaman Nabi. Mungkin saja narasinya yang terlalu saya
buat lebay. Namun saya ingin
mengggambarkan bagaimana sebagian kecil dari sebuah eposide dalam keluarga
Nabi. Dalam berumah tangga, konflik kecil ataupun riak-riak ketidaksinkronan antara
suami dan istrio sering muncul. dan tidak terkecuali pada keluarga Nabi. Munculnya
konflik dalam berumah tangga adalah hal yang biasa dalam sebuah hubungan atau
interaksi antar manusia. Bahkan menurut para ahli konseling rumah tangga,
konflik-konflik kecil tersbut diperlukan untuk menjaga keharmonisan rumah
tangga. Apabila hubungan antar suami istri ‘baik’ terus, maka suasana yang
tercipta adalah sebuah hubungan yang datar tanpa ada variasi suasana.
Potensi konflik pasti selalu ada.
Biasanya disebabkan oleh ketidakpusaan dari salah satu pasangan, ada miskomunikasi atau masalah-masalah lainnya. Potensi tadi
akan menjadi apa atau apa yang terjadi selanjutnya adalah tergantung dari
bagaimana masing-masing menyikapinya. Ketika kita bersikap rasional dan
memahami segala sesuatunya bisa saja terjadi, maka potensi tadi tidak akan
menjadi masalah yang kemudian akan memicu konflik. Susu yang rasanya asin,
kalau kita memahami bahwa hal tersebut terjadi bukan karena kesengajaan maka
hal tersebut tidak akan menjadi masalah. Kondisi dapur yang berantakan, anak yang rewel
minta perhatian, kamar mandi yang kotor
dan bau, akan menjadi masalah yang menimbulkan konflik atau tidak adalah
tergantung bagaimana cara kita menyikapinya. Dan bagaimana mengolah potensi
masalah menjadi sesuatu yang berakhir indah, Nabi telah memberikan contoh nyata
di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar