Selasa, 12 Januari 2016

KENAPA MESTI BEREBUT JABATAN

Menjelang akhit tahun 2015, panggung politik dan publik di negara kita disuguhi beberapa aksi mundurnya pejabat publik. Diawali dengan mundurnya Sigit P Pramudito dari jabatan DIrjen Pajak, karena merasa tidak mampu mencapai angka target penerimaan, kemudian mundurnya Djoko Sasono yang mundur dari Dirjen Perhubungan Darat yang merasa tidak mampu menyelesaikan macet liburan akhir tahun. Ada pula Setya Novanto, yang akhirnya mundur setelah desakan untuk mundur dari jabatan Ketua DPR cukup gencar terkait dengan kasus papa minta saham. Pekan kedua bulan Januari tahun 2016 ini pun sudah diramaikan lagi dengan diminta mundurnya Fahri Hamzah dari Wakil Ketua DPR oleh partainya.

Kayaknya kata mundur sedang menjadi trending topik akhir-akhir ini. Kata mundur tergolong kosakata yang sudah cukup lama, bahkan mungkin sejak  Bahasa Indonesia ada. Mundur dapat diartikan sebagai bergerak ke belakang. Dalam kontek jabatan mundur berarti melepaskan jabatan yang diberikan dan  menyerahkannya kepada yang pejabat yang memberikannya.

Kata mundur sebenarnya mempuyai makna yang satu dan sama sepanjang waktu. Namun perilaku mundur yang mengalami perubahan seiring dengan berubahnya waktu dan zaman. Dulu, bisa sebuah perbuatan kalau dilakukan akan dinilai sebagai sebuah tindakan yang hina, namun sekarang bisa berbalik berubah 180 derajat menjadi mulia. Dulu sebuah tindakan mungkin dicela, namun zaman sekarang bisa saja di puja-puja. Hal ini disebabkan sebuah perilaku biasanya dinilai tidak hanya karena perilaku itu sendiri, tapi ada latar belakang sosial  dan kultur yang menjadikan penilaian itu berubah.

Begitu pula fenomena mundur yang dilakukan oleh pejabat saat ini. Perilaku mundur pada era kekinian akan mempunyai nilai yang berbeda jika dibandingkan dengan perilaku mundur pada zaman dulu. Pada zaman perjuangan dan kemerdekaan,  mundur adalah sebuah perilaku hina dan tercela. Maka kita kenal, para pendahulu kita mempunyia semboyan maju terus pantang mundur. Semboyan tersebut menunjukkan karakter heroic seseorang. Ketika kecenderungan orang mementingkan nyawa dan keluarganya, maka perilaku untuk maju dan berjuang mengambil peran dalam perjuangan adalah pilihan yang mulia. Sebaliknya orang tidak mau berjuang cenderung mementingkan dirinya sendiri, mencari selamat agar  bisa tidur enak maka ia harus siap-siap untuk dicap sebagai manusia hina. Ketika seseorang diberikan amanah ikut dalam perjuangan namun dia lebih memilih mundur maka mundurnya dianggap sebagai pecundang dan tercatat sebagai noda kotor dalam sejarah.

Kata mundur untuk saat ini mempunyai nilai yang cukup mendalam. Kondisi dan keadaanlah  yang membuat mundur mempunyai nilai yang mulia. Kemuliaan dari kata mundur bukan dari makna kata itu sendiri tapi adalah ketika tindakan tersebut dilakukan oleh seorang yang diberikan amanah untuk mengemban tugas. Ketika orang menganggap jabatan adalah sebuah pesona dengan segala marwah dan puja-pujanya, maka keberanian segelintir orang untuk mundur dari jabatan profesionalnya karena merasa gagal akan menjadi mereka sebuah pesona di mata masyarakat.

Zaman telah mengubah makna jabatan. Sekarang jabatan dipahami sebagai pintu untuk pembuka semua fasilitas dan kesenangan. Manusia berlomba-loma untuk mendapatkannya karena mereka mengejar popularitas dan kesenangan. Prinsip inilah yang kemudian memunculkan sebuah ‘teori baru’ tetang jabatan, bahwa jabatan itu harus dikejar, dimiliki dan dipertahankan dengan segala cara.

Kalau kita kembalikan kepada makna yang benar tentang jabatan, maka ketika seseorang memiliki jabatan harus punya relevansi dengan tugas dan amanah serta kemampuan untuk dapat mengembannya. Orang yang berhak atas satu jabatan adalah orang yang mampu mengemban dan mempertanggungjawabkan tugas jabatan tersebut  Oleh karena itu jabatan itu tidak untuk diminta dan dikejar kecuali kita sangat yakin dengannya bahwa kita mampu mewujudkan semua tugas yang harus dihadirkan oleh  eorang pejabat.

Ketika sebuah jabatan hadir dan menawar diri kita sedangkan kita tidak relevan dengan jabatan dan kedudukan itu maka sewajarnya kita menolaknya. Penolakan tersebut menjadi sesuatu yang patut dilakukan karena ketika jabatan diambil maka bukannya keberhasilan yang akan diraih tetapi sebuah kegagalan karena secara kemampuan tidak sanggup untuk mengemban.  Pada kondisi tersebut maka jabatan itu menjadi tidak penting bahkan layak ditolak. 

Ketika kita berada diantara manusia-manusia lain dan kita memahami nilai sebuah jabatan, maka sebenarnya tidak ada  kelebihan antara kita kecuali orang yang mengemban sebuah jabatan, dialah yang paling berat diantara mereka.  Maka sudah sewajarnyanya, apabila ada manusia yang merasa pantas menyandang jabatan dan kekuasaan, tugas utama mereka adalah menunjukkan dengan nyata tugas dan solusi mana yang telah dapat dia hadirkan dengan jabatan dan kekuasaan tersebut. Kembalikan saja tentang  semua jabatan itu pada subtansinya yaitu bahwa jabatan itu adalah beban yang akan menjadi penyesalan di akhirat kecuali yang bisa menunaikan dengan prima.

Tidak ada komentar: