Menjelang akhit tahun 2015, panggung politik dan publik di negara kita
disuguhi beberapa aksi mundurnya pejabat publik. Diawali dengan mundurnya Sigit
P Pramudito dari jabatan DIrjen Pajak, karena merasa tidak mampu mencapai angka
target penerimaan, kemudian mundurnya Djoko Sasono yang mundur dari Dirjen
Perhubungan Darat yang merasa tidak mampu menyelesaikan macet liburan akhir
tahun. Ada pula Setya Novanto, yang akhirnya mundur setelah desakan untuk
mundur dari jabatan Ketua DPR cukup gencar terkait dengan kasus papa minta
saham. Pekan kedua bulan Januari tahun 2016 ini pun sudah diramaikan lagi
dengan diminta mundurnya Fahri Hamzah dari Wakil Ketua DPR oleh partainya.
Kayaknya kata mundur sedang menjadi trending topik akhir-akhir ini. Kata
mundur tergolong kosakata yang sudah cukup lama, bahkan mungkin sejak Bahasa Indonesia
ada. Mundur dapat diartikan sebagai bergerak ke belakang. Dalam kontek jabatan
mundur berarti melepaskan jabatan yang diberikan dan menyerahkannya kepada yang
pejabat yang memberikannya.
Kata mundur sebenarnya mempuyai makna yang satu dan sama sepanjang
waktu. Namun perilaku mundur yang mengalami perubahan seiring dengan berubahnya
waktu dan zaman. Dulu, bisa sebuah perbuatan kalau dilakukan akan dinilai
sebagai sebuah tindakan yang hina, namun sekarang bisa berbalik berubah 180 derajat
menjadi mulia. Dulu sebuah tindakan mungkin dicela, namun zaman sekarang bisa
saja di puja-puja. Hal ini disebabkan sebuah perilaku biasanya dinilai tidak
hanya karena perilaku itu sendiri, tapi ada latar belakang sosial dan kultur yang menjadikan penilaian itu
berubah.
Begitu pula fenomena mundur yang dilakukan oleh pejabat saat ini.
Perilaku mundur pada era kekinian akan mempunyai nilai yang berbeda jika
dibandingkan dengan perilaku mundur pada zaman dulu. Pada zaman perjuangan dan
kemerdekaan, mundur adalah sebuah perilaku hina dan tercela. Maka kita
kenal, para pendahulu kita mempunyia semboyan maju terus pantang mundur. Semboyan tersebut menunjukkan karakter heroic
seseorang. Ketika kecenderungan orang mementingkan nyawa dan keluarganya, maka
perilaku untuk maju dan berjuang mengambil peran dalam perjuangan adalah
pilihan yang mulia. Sebaliknya orang tidak mau berjuang cenderung mementingkan
dirinya sendiri, mencari selamat agar bisa tidur enak maka ia harus siap-siap untuk
dicap sebagai manusia hina. Ketika seseorang diberikan amanah ikut dalam
perjuangan namun dia lebih memilih mundur maka mundurnya dianggap sebagai pecundang
dan tercatat sebagai noda kotor dalam sejarah.
Kata mundur untuk saat ini mempunyai nilai yang cukup mendalam. Kondisi
dan keadaanlah yang membuat mundur mempunyai
nilai yang mulia. Kemuliaan dari kata mundur bukan dari makna kata itu sendiri
tapi adalah ketika tindakan tersebut dilakukan oleh seorang yang diberikan
amanah untuk mengemban tugas. Ketika orang menganggap jabatan adalah sebuah
pesona dengan segala marwah dan puja-pujanya, maka keberanian segelintir orang
untuk mundur dari jabatan profesionalnya karena merasa gagal akan menjadi
mereka sebuah pesona di mata masyarakat.
Zaman telah mengubah makna jabatan. Sekarang jabatan dipahami sebagai pintu
untuk pembuka semua fasilitas dan kesenangan. Manusia berlomba-loma untuk mendapatkannya
karena mereka mengejar popularitas dan kesenangan. Prinsip inilah yang kemudian
memunculkan sebuah ‘teori baru’ tetang jabatan, bahwa jabatan itu harus
dikejar, dimiliki dan dipertahankan dengan segala cara.
Kalau kita kembalikan kepada makna yang benar tentang jabatan, maka
ketika seseorang memiliki jabatan harus punya relevansi dengan tugas dan amanah
serta kemampuan untuk dapat mengembannya. Orang yang berhak atas satu jabatan
adalah orang yang mampu mengemban dan mempertanggungjawabkan tugas jabatan
tersebut Oleh karena itu jabatan itu
tidak untuk diminta dan dikejar kecuali kita sangat yakin dengannya bahwa kita
mampu mewujudkan semua tugas yang harus dihadirkan oleh eorang pejabat.
Ketika sebuah jabatan hadir dan menawar diri kita sedangkan kita tidak
relevan dengan jabatan dan kedudukan itu maka sewajarnya kita menolaknya.
Penolakan tersebut menjadi sesuatu yang patut dilakukan karena ketika jabatan diambil
maka bukannya keberhasilan yang akan diraih tetapi sebuah kegagalan karena secara
kemampuan tidak sanggup untuk mengemban. Pada kondisi tersebut maka jabatan
itu menjadi tidak penting bahkan layak ditolak.
Ketika kita berada diantara manusia-manusia lain dan kita memahami nilai
sebuah jabatan, maka sebenarnya tidak ada kelebihan antara kita kecuali orang yang mengemban
sebuah jabatan, dialah yang paling berat diantara mereka. Maka sudah
sewajarnyanya, apabila ada manusia yang merasa pantas menyandang jabatan dan
kekuasaan, tugas utama mereka adalah menunjukkan dengan nyata tugas dan solusi
mana yang telah dapat dia hadirkan dengan jabatan dan kekuasaan tersebut. Kembalikan
saja tentang semua jabatan itu pada
subtansinya yaitu bahwa jabatan itu adalah beban yang akan menjadi penyesalan
di akhirat kecuali yang bisa menunaikan dengan prima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar