Rabu, 11 Januari 2017

AHOK LAGI

sumber gambar google.com
Saya adalah penduduk DIY, tapi lima hari dalam satu pekan saya tinggal di DKI, dan sisanya saya pulang dan tinggal di DIY. Jadi saya lebih pantas disebut penduduk DKI daripada penduduk DIY. Jadi kalau sekarang orang hiruk pikuk membahas calon gubernur DKI, sudah seharusnya saya ikut nimbrung. Tapi kalau dipikir lagi, karena yang menentukan terpilih atau tidaknya calon gubernur adalah suara pemilih yang didasarkan pada domisili KTP, maka saya pun berpikir tidak relevan kalau saya terlalu nimbrung dalam hiruk pikuknya PILKADA DKI.

Intinya silakan saja, kalau ada yang merasa bahwa Ahok mempunyai prestasi yang membanggakan untuk Jakarta, silakan beri kesempatan untuk memimpin lagi. Kalau anda selama ini mengklaim bahwa Jakarta lebih baik dari sebelumnya, silakan pilih dia. Memilihnya kembali hukumnya wajib bagi anda daripada memilih calon yang belum terbukti kinerjanya sebagai seorang gubernur.

Namun sebaliknya, jika ada yang mengatakan Ahok tanpa capaian sama sekali dan lebih banyak mudharatnya untuk Jakarta, tinggalkan dia. Jangan pilih dia untuk memimpin Jakarta lagi, karena pastinya akan membuat Jakarta semakin tertinggal dari kota-kota metropolitan lainnya. Kalau anda berpendapat seperti ini, memilih kembali berarti sebuah kesalahan besar bagi seorang warga Jakarta.

Dengan kalimat yang sederhana, alasan memilih atau tidak, antara orang yang digusur Ahok tentu berbeda dengan orang yang menikmati hasil gusuran Ahok.

Tapi sekali lagi saya tak pantas untuk berkomentar atau menilai Ahok karena saya bukan warga DKI. Tapi ada masalah yang membuat relevan kalau saya berkomentar. Walaupun itu penilaian saya sendiri. Saya ingin berkomentar terkait dengan penistaan agama yang telah dilakukan oleh Ahok. Kenapa saya berani gunakan kata penistaan (sekarang sedang disidangkan layak atau tidak disebut penistaan)? Tapi saya punya keyakinan bahwa penistaan atau bukan, dalam agama saya sudah ada yang berhak dan mempunyai kewenangan untuk memberikan penilaian yaitu MUI.

Sebagai warga Islam, ketika keyakinan saya dilecehkan, paling tidak saya harus berkomentar. Seharusnya seorang pejabat publik tidak boleh bicara sembarangan tentang agama orang lain orang di ruang publik. Dalam negara yang beragam keyakinan penduduknya, masalah agama adalah masalah sensititif. Dunia sudah membuktikan bahwa kalau kehidupan beragama tidak dikelola dengan baik, maka yang akan terjadi adalah kerepotan yang akan dialami oleh pemerintahannya. 

Satu-satunya cara untuk memaafkan perbuatan tersebut adalah adalah dengan memberikan kepastian tegaknya hukum yang adil terhadap pelaku penistaan agama. Selain menciptakan ketenangan umat, kepastian hukum juga akan membuktikan bahwa pemerintah serius dalam menciptakan suasana toleransi antar pemeluk agama. 

Penegakan hukum yang adil terhadap pelaku bukan berarti anti toleransi. Penegakan hukum yang adil adalah bagian dari menjaga toleransi. Ketika muncul peristiwa-peristiwa yang menciderai toleransi, maka satu-satunya cara adalah memberlakukan proses secara adil sehingga rasa aman dan nyaman dalam bertoleransi dapat dijaga.

Tidak ada komentar: