Jumat, 15 April 2011

Ulat Bulu dan Dede Yusuf


Ada dua fenomena menarik akhir-akhir ini, yaitu ulat bulu dan Dede Yusuf. Ulat bulu adalah binatang yang sangat menakutkan bagi hampir semua orang, sedangkan Dede Yusuf adalah aktor ganteng yang menarik semua orang. Mengapa saya menuliskan dua nama tersebut dalam sebuah kalimat yang mengandung pengertian setara?

Wabah ulat bulu pertama kali ditemukan di wilayah Bojoegoro yang merupakan sentra penghasil buah mangga. Ulat tersebut menyerang pohon mangga, sehingga petani di daerah tersebut merasa dirugikan. Seorang profesor pertanian dari IPB menyatakan bahwa sebenarnya wabah ulat bulu tersebut lebih disebabkan karena keseimbangan alam yang terganggu sehingga predator ulat tersebut (sejenis lebah) jumlahnya berkurang. Akibatnya ulat bulu yang ada bertambah dalam jumlah yang cukup luar biasa dan wabah ini adalah terbesar sejak 70 tahun terakhir. Dalam siklus metamorofosis, ulat akan berubah menjadi kepompong dan kemudian menjadi kupu-kupu. Proses inilah yang akan mengubah baju ulat bulu yang menakutkan menjadi seekor kupu-kupu yang berbaju yang sangat indah.

Hal yang sama juga dilakukan oleh mantan artis dan sekaligus Wakil Gubenur Jawa Barat, Dede Yusuf. Baru-baru ini Dede Yusuf berganti baju, dari Partai Amanat Nasional ke Partai Demokrat (walaupun warnanya masih sama yaitu biru). Perubahan baju ini bukan karena proses metamorfosis, namun ada tujuan tertentu yang sifatnya politis. Menurut pengamat politik, kepindahan ini terkait dengan rencana Dede Yusuf untuk mencalonkan diri menjadi Gubernur Jawa Barat pada pilkada tahun 2012.

Perpindahan dari dari partai politik ke partai politik lainnya bukanlah hal yang luar biasa di negara kita. Gubernur Nusa Tenggara Barat, Zainul Majdi, yang sebelumnya adalah politisi Partai Bulan Bintang berpindah ke Partai Demokrat; Ilham Arif Sirajuddin, Walikota Makasar yang sebelumnya adalah Ketua DPD Golkar Sulawesi Selatan berpindah ke Partai Demokrat. Beberapa pengamat politik menduga kepindahan tersebut terkait dengan kepentingan pelanggengan kekuasaannya. Partai Demokrat sebagai partai penguasa tentunya mempunyai posisi yangs sangat kuat. Dengan citra sebagai partai pemerintah dan dukungan dari para pemilihnya diharapkan menjadi amunisi yang kuat untuk pemilihan kepala daerah berikutnya. Dalam logika politik hal ini menguntungkan kedua belah pihak. Ketika partai yang sebelumnya mengusungnya menjadi wakil/kepala daerah sudah tidak ada harapan lagi untuk lolos parliament threshold, maka satu-satunya cara untuk mempertahankan kekuasannya adalah dengan berpindah ke partai yang kemungkinan besar lolos parliament threshold, sehingga peluang bisa melanggengkan kekuasaan akan lebih besar. Keuntungan bagi partai pengusungnya adalah apabila kadernya menjadi kepala daerah maka akan bisa mendongkrak perolehan suara partai.

Perubahan ulat menjadi kupu-kupu tentunya berbeda dengan perubahan baju politikus. Dalam filofosi kehidupan, perubahan ulat menjadi kupu-kupu diartikan sebagai suatu proses lelaku untuk mendapatkan kedudukan yang lebih mulia. Proses menjadi kepompong biasanya digambarkan sebagi proses prihatin dan puasa untuk meningkatkan kepribadian menjadi yang lebih istimewa. Menjadi kupu-kupu adalah kedudukan yang mulila bagi seekor ulat. Dengan warna sayap yang menarik dan sangat indah, pastilah semua orang tertarik dengannya. Coba kita bandingkan dengan ulat bulu, seram dan menakutkan.

Coba kita bandingkan dengan perubahan partai yang dilakukan oleh politikus. Kita sering melihat politikus begitu mudahnya berpindah partai. Mereka sangat oportunis dan pragmatis. Berpindah partai hanya untuk kepentingan yang menguntungkan dirinya sendiri. Memang secara formal hal tersebut dimungkinkan dan diperbolehkan, namun dalam kaca mata fatsun politik, hal tersebutlah sangatlah tidak etis. Karena merupakan perilkau yang tidak etis tersebut, orang sering menyebut poltikus seperti itu sebagai kutu loncat. Politikus layaknya pemain bola, yang bisa pindah kapan dan ke mana saja, yang penting nilai kontrak dan gaji yang ia dapatkan di klub yang baru. Politikus ini tidak mempunyai karakter ideal seorang politisi. Idealnya, seorang polotisi adalah mewakili kepentingan rakyat melalui partai yang sesuai dengan ideologinya, bukan mewakili kepentingan pribadi untuk mendapatkan kekuasaan.

Politisi hendaknya meniru ulat, kepompong dan kupu-kupu. Binatang ini begitu indahnya berubah bukan karena kepentingan pribadinya, tapi karena ingin membuat manusia bahagia. Ulat bulu yang begitu menakutkan manusia menjadi seeokor kupu-kupu yang membuat manusia senang melihatnya. Saya yakin kalau Partai Demokrat tidak mendapatkan suara terbanyak dalam pemilu nanti, dipastikan si kutu loncat ini akan bersiap-siap untuk meloncat lagi ke partai yang bisa melambungkan dirinya.



tulisanku, 15-04-2011

Kamis, 07 April 2011

Antara Korupsi, Malinda Dee dan Malu

Tidak seperti biasanya, yaitu naik Senja Utama, perjalanan ke Yogyakarta pada hari Jumat,1 April 2011 saya lakukan dengan naik kereta Fajar Utama. Dengan naik kereta ini, saya bisa seharian melihat hampir semua hal yang terjadi di sekitar saya dan sekaligus menikmati suasana perjalanan di siang hari. Salah satu peristiwa yang saya lihat pada hari itu adalah ketika ada pemeriksaan tiket selepas Stasiun Besar Cirebon yang dilakukan oleh salah seorang petugas kereta api. Ketika petugas tersebut meminta salah seorang penumpang yang duduk di seberang tempat duduk saya, untuk menunjukkan tiketnya, ternyata si penumpang bukannya menyerahkan tiketnya, tapi saya melihat dia menyerahkan uang (kalau tidak salah Rp 20.000,- an) sembari bersalaman dengan petugas kereta api tadi. Melihat peristiwa itu aku merasa risih dan hati kecilku merasa tidak terima, kemudian aku pura-pura batuk “hmm..hmm...” sambil kualihkan pandanganku ke penumpang dan petugas tadi. Begitu pandanganku dan pandangan mereka ketemu, saya melihat wajah kedua orang tersebut berubah agak memerah dan tersenyum malu-malu dan kemudian petugas tadi pergi.

Ternyata kejadian tersebut berulang lagi, selepas stasiun Purwokerto, namun kali ini petugasnya sudah berganti. Aku pun melakukan hal serupa, yaitu pura-pura batuk,”...hmm...hmmm...” dan melihat petugas kembali malu-malu dan berusaha segera menyembunyikan uang pemberian penumpang tadi.

Melihat peristiwa tadi aku mulai berpikir bahwa secara kodratnya manusia itu malu apabila melakukan pekerjaan yang tidak benar dan akan menutupi perbuatannya tadi sesegera dan serapat mungkin agar orang lain tidak mengetahuinya. Apa yang dilakukan petugas kereta api dan penumpang tadi sebenarnya masuk dalam pengertian korupsi, dan korupsi adalah sesuatu perbuatan yang melanggar hukum. Karena biasanya atau seharusnya pelakunya malu maka sering orang mengganti dengan istilah perbuatan yang memalukan dan perbuatan tadi bisa membuat malu tidak hanya kepada pelakunya tapi juga keluarga dan warga sekitarnya.

Saya masih ingat ketika semasa ayah saya aktif mengajar di sebuah sekolah dasar. Karena sudah termasuk guru senior maka ayah saya diperbolehkan mengikuti tes untuk dipromosikan sebagai kepala sekolah. Setelah tiga kali menjalani tes dan gagal terus, ayah saya ditawari oleh oknum penyelenggara ujian untuk menyediakan uang Rp. 3.000.000,- agar pada tes keempat bisa diluluskan. Ayah saya ternyata tidak menyanggupi, dan alasannya (yang masih membanggakan saya) adalah, “malu-maluin saja, guru nyogok hanya untuk jadi kepala sekolah, terus anak didiknya mau dibawa kemana?”

Malu adalah sifat manusia yang universal. Sifat malu tidak diberikan kepada binatang. Malu hanya diberikan Tuhan kepada manusia sebagai salah satu ukuran untuk menentukan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk. Manusia sering tidak sadar bahwa ketika mereka masih mempunyai rasa malu dengan orang lain ketika melakukan suatu perbuatan tidak terpuji, maka itu sebenarnya adalah peringatan supaya segera ditinggalkan dan hukuman yang lebih berat tidak dikenakan.

Kasus yang menghebohkan hari-hari terakhir ini adalah pembobolan dana nasabah oleh Malinda Dee. Dalam kacamata hukum, apa yang dilakukan oleh Malinda Dee tersebut juga sudah masuk dalam pengertian korupsi, karena korupsi tidak hanya diartikan pada kerugian keuangan negara saja, namun kerugian perusahaan pun sudah masuk dalam pengertian korupsi. Salah satu hal yang mendorong untuk membuat tulisan ini adalah ketika saya membaca headline harian Kompas, 7 April 2011, Malinda Pegang 236 Nasabah. Dari berita tersebut, saya mendapatkan informasi tersangka kasus pembobolan dana masabah Citibank, Melinda Dee, ternyata menangani 236 nasabah dengan nilai nominal minimal Rp. 500 juta per nasabah dan dengan total dana yang dibobol Rp. 17 milyar. Namun yang mengherankan, dari 256 nasabah yang dibobol ternyata hanya 3 orang nasabah yang yang melaporkan telah dirugikan. Pertanyaannya adalah kemana yang 233 nasabah lainnya. Harian Kompas edisi sebelumnya memberitakan bahwa ada dugaan bahwa nasabah-nasabah yang menjadi korban Malinda Dee adalah nasabah yang melakukan pencucian uang dari tindak pidana. Berarti dapat saya simpulkan bahwa mereka sebenarnya malu melaporkan bahwa dirinya dirugikan, karena uang mereka berasal dari perbuatan yang tidak terpuji alias yang memalukan.

Korupsi yang selama ini dianggap sudah menjadi penyakit akut di negara kita, salah satu penyebabnya adalah hilangnya rasa malu bagi pelakunya. Ketika rasa malu ditanya, sebelum melakukan korupsi, dan apa yang menjadi jawaban dari rasa malu itu dituruti maka sebenarnya korupsi dan perbuatan tidak terpuji lainnya bisa dicegah. Tapi lain halnya, apabila urat malu pelaku tersebut sudah putus.

Bagi kita yang masih diberikan rasa malu, maka bersyukurlah. Apalagi rasa malu tersebut masih bisa mengingatkan seseorang dari perbuatan yang memalukan.



tulisanku, 07-04-2011, 07.25

Rabu, 06 April 2011

Sampai dengan Selesai

Pernahkah Anda mendapatkan sebuah undangan? Apapun jenis undangannya, apakah undangan rapat, undangan pesta pernikahan ataupun undangan sebuah seminar, pasti ada satu hal yang penting dalam undangan tersebut yaitu mengenai waktu acara tersebut. Apabila saya mencermati undangan-undangan yang pernah saya terima, ada dua macam kemungkinan terkait dengan waktu acara dalam undangan tersebut, yaitu waktunya secara jelas ditentukan (misalnya pukul 10.00 s.d. 12.00) atau waktunya tidak dibatasi dengan jelas (misalnya pukul 10.00 s.d. selesai).

Apabila Anda diundang dalam sebuah rapat, kemudian Anda ditanya akan memilih undangan yang mencantumkan waktu rapat yang mana, apakah yang pukul 10.00 s.d. 12.00 atau pukul 10.00 s.d. selesai. Kalau saya atau mungkin bagi Anda yang sangat menghargai waktu dan setiap agenda yang Anda kerjakan setiap hari selalu ada jadwal dan agenda yang pasti, maka saya yakin Anda akan memilih undangan yang jadwal acaranya pasti yaitu pukul 10.00 s.d. 12.00. Dengan jadwal waktu tersebut maka Anda akan mempersiapkan diri untuk mengikuti sebuah acara dengan lama waktu dua jam dan Anda akan bisa mengagendakan acara berikutnya setelah dua jam tersebut.

Lain halnya dengan waktu undangan yang menyatakan pukul 10.00 s.d. selesai. Kita tidak bisa memastikan kapan acara tersebut selesai. Kata selesai dalam undangan tersebut mempunyai makna yang tidak menentu. Apakah selesai menurut pimpinan rapat walaupun materi yang dibahas belum selesai ataukah sampai benar-benar materi pembahasan rapat tersebut selesai dibahas ataukah hal lain yang akan menghentikan rapat tersebut sehingga dianggap selesai.

Saya sering menemui rapat-rapat yang mencantumkan undangan seperti contoh di atas (pukul sekian s.d. selesai). Dan dalam prakteknya rapat tersebut selesainya pun tidak menentu, sehingga agenda rapat beriktunya yang telah disusun pada hari itu (dengan asumsi rapat yang pertama tadi sudah selesai) menjadi molor waktu dimulainya atau malah tidak jadi dilaksanakan, karena peserta rapat yang hadir juga sedang menghadiri rapat pertama yang waktu selesainya molor tadi. Saya berpikir, seandainya saya adalah pihak yang mengundang rapat tentu saja saya akan mempunyai peran dalam rapat tadi, baik mengenai agenda pembicaraan yang akan dilakukan dan perkiraan waktu yang akan digunakan. Apabila pihak pengundang sudah bisa memperkirakan agenda yang akan dibahas dalam rapat tadi maka sebenarnya dia juga sudah bisa memperkirakan berapa lama waktu yang akan digunakan dan kapan waktu rapat akan selesai. Menurut simpulan saya sangatlah mudah untuk menentukan perkiraan waktu dalam sebuah udangan, apalagi apabila pihak pengundang merupakan bagian dari pihak yang memimpin rapat tersebut, sehingga bisa mengatur jalannya rapat sesuai dengan jadwal waktu yang telah ditentukan.

Dalam masyarakat Jawa, sering kita jumpai undangan perayaan pernikahan yang serupa. Ada yang mencantumkan waktu seperti ini pukul 10.00 s.d. 12.00 atau pukul 10.00 s.d. selesai. Nah jika Anda menjumpai undangan seperti itu, maka biasanya seperti ini, apabila tertulis waktu kapan acara dimulai dan diakhiri, seperti pukul 10.00 s.d 12.00, artinya acara dalam undangan ini hanyalah pemberian ucapan selamat kepada penganten dan dilanjutkan makan secara prasmanan, dan apabila Anda hadir setelah pukul 12.00 acara telah selesai dan makanan sudah habis.

Apabila hanya tertulis waktu kapan acara dimulai saja misalnya pukul 10.00 s.d. selesai, artinya acara tersebut akan dilaksanakan dengan mengikuti rangkaian acara pernikahan adat Jawa meliputi acara pembukaan, atur pambagyo harjo, atur pasrah pinanganten, atur panompo pinanganten dan ular-ular. Acaranya tidak menentu selesainya tergantung panjang dan pendeknya masing-masing bagian-bagian dalam acara tadi. Walaupun sebenarnya acara tadi bisa diatur panjang pendeknya, toh pengundanglah yang mengaturnya.

Dari dua hal tersebut, kita bisa mengatur strategi kapan atau pukul berapa akan hadir dalam undangan tersebut, tentunya sesuai dengan jenis waktu yang dicantumkan dalam undangan.


tulisanku, 05-04-2011, pukul 20.30 WIB

Selasa, 05 April 2011

Kasus PKS : Perpecahan atau Sebuah Teguran *)


Beberapa hari terakhir, kita disibukkan dengan beberapa berita yang terkait dengan dinamika di tubuh sebuah partai yang menyatakan dirinya sebagai partai dakwah. Seorang pendiri Partai Keadilan (nama sebelum berubah manjadi Partai Keadilan Sejahtera), Yusuf Supendi menggunggat beberapa petinggi PKS antara lain Hilmi Aminuddin, Lutfi Hasan Ishak dan Anis Matta. Menurut Yusuf Supendi, para petinggi tersebut melakukan manipulasi dalam penggunaan dana kampanye ilegal dan melaksanakan kerja partai yang tidak sesuai dengan garis-garis besar haluan sebuah partai dakwah. Intinya, mereka dilaporkan telah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan moralitas dan hukum positif di Indonesia.

PKS selama ini identik dengan partai yang selalu mengedepankan moralitas dan akhlakul karimah dalam setiap aktivitasnya. Setiap manuver politknnya selalu dibungkus dengan nilai-nilai akhlakul karimah. Sesuai dengan jargonnya sebagai sebuah partai dakwah, apa yang dilakukan oleh PKS tersebut adalah sebuah keniscayaan. Dan tidak dipungikiri lagi, label dan akitivitas yang identik dengan bersih, peduli dan profesional inilah yang mendongkrak perolehan suara PK dan PKS dalam tiga kali keikutsertaannya dalam pemilu. Bahkan dalam pemilu 2009 PKS menemani Partai Demokrat sebagai partai mengalami kenaikan dalam perolehan suara.

Munculnya permasalahan internal yang disuarakan oleh Yusuf Sipendi tentunya akan mempengaruhi PKS secara internal maupun eksternal. Secara internal, banyak kader dan simpatisan yang bertanya-tanya tentang kebenaran informasi tersebut. Dan secara eksternal, apa yang dilakukan oleh Yusuf Supendi dengan data dan informasinya akan menjadi berita yang bombastis, karena hal ini menyangkut partai yang selama ini dianggap mewakili partai yang bersih dan bermoral. Sebuah berita miring tentang PKS tentunya akan menjadi berita yang menjual dibandingkan dengan sebuah berita miring untuk partai yang lain, dan saya berpendapat hal ini wajar sesuai dengan sebuah pepatah dalam dunia pers “anjing menggigit orang itu biasa, tapi orang menggigit anjing itulah namanya berita”. Sesuatu yang tidak biasa tentunya akan menjadi berita, demikian pula PKS, kabar yang dibawa Yusuf Mansur tersebut adalah sesuatu yang tidak biasa dalam PKS, walaupun kebenarannya masih memerlukan investigasi lebih lanjut.

Banyak spekulasi dan analisis terkait konflik internal (karena saya masih menganggap Yusuf Mansur adalah bagian dari PK maupun PKS, walaupun menurut informasi beliau sudah dipecat dari PKS). Salah satu yang keluar dari internal PKS adalah bahwa ada agenda tersembunyi dari lawan poltik PKS yang meminjam tangan Yusuf Supendi untuk menjatuhkan PKS. Logika ini bisa diterima oleh akal. Manuver politik PKS dalam koalisi pemerintahan memang kerap menimbulkan masalah bagi partai koalisi lainnya, dimulai dari kasus hak angket Century dan terakhir adalah hak angket Pajak. Saya berpendapat wajar ketika petinggi PKS mengeluarkan analisis seperti itu. Manuver PKS yang tidak sejalan dengan partai koalisi lainnya membuat kekuatan lain dalam koalisi merasa gerah dan mencoba melakukan manuver balasan untuk memberikan pelajaran kepada PKS. Apalagi presiden SBY juga kelihatan ragu untuk secara tegas mengeluarkan PKS dari koalisi dan alasan soliditas PKS serta militansi dan kritis dari para kader PKS inilah yang tentu menjadi pertimbangannya.

Terlepas benar atau tidaknya semua yang dilaporkan oleh Yusuf Supendi terkait dengan PKS, saya berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh Yusuf Supendi dapat dilihat dari kacamata hikmah buat PKS. Selain melakukan perlawanan atas apa yang dilaporkan oleh Yusuf Supendi tersebut melalui jalur yang seharusnya, maka PKS harus melihat permasalahan ini secara keseluruhan. Sebagai partai dakwah, apa yang terjadi saat ini harus dilihat dari kacamata dakwah itu sendiri bukan dari kacamata emosional belaka.

Sebagai partai yang cukup besar yang menjadi harapan besar bagi kader dan simpatisannya, PKS harus mulai berkaca kepada diri sendirinya. Kenapa saya bilang besar, karena partai ini mempunyai kekuatan 7% lebih pemilih, 57 (kalau tidak salah) anggota DPR Pusat dan sekarang mempunyai 4 kursi menteri di pemerintahan. Dengan kekuatan tersebut menjadikan partai ini semakin kuat dan besar di masyarakat. Kader dan pengurus sebagai motor dan inti dari sebuah partai tentunya akan menikmati efek kebesaran dari partai ini. Dari efek sebagai figur publik maupun efek tingkat peningkatan perekonomian dari kader dan simpatisan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Semua pasti masih ingat ketika PKS masih bernama PK. Dapat dikatakan hampir semua kader dan pengurus PK ada dalam posisi “miskin” dan “prihatin”. Mereka bekerja dengan bermodalkan semanagt dan kepercayaan atas janji Allah bahwa perjuangan partai dakwah adalah perjuangan jihad dan pasti akan dimenangkan oleh Allah. Mereka berjuang bukan untuk perorangan (caleg partai) namun mereka berjuang untuk partai (siapa pun yang jadi sama saja). Mereka rela mengeluarkan dana pribadi untuk keyakinan perjuangan partai tersebut. Sehingga semua yang terkait dengan pemasangan atribut mereka lakukan sendiri tanpa ada bayaran maupun membayar orang lain. Kampanye dilakukan tanpa sepeserpun politik uang. Mereka mencoba menjual partai dengan dengan silaturahmi dari rumah ke rumah (yang mereka namakan direct selling, dan itulah yang menjadi senjata utamanya.

Seiring dengan perkembangan waktu, ketika partai sudah mendapat tempat di masyaraat dan mendapat tempat pula kader-kadernya dalam parlemen dan pemerintahan, saat itu pula tingkat kehidupan dan kesejahteraan mereka semakin meningkat. Semakin banyak mereka yang mempunyai peran dalam parlemen dan pemerintahan mendapatkan banyak peningkatan dalam perekonomiannya. Apakah itu karena memang penghasilan mereka semakin besar dan ikut bisa memenangkan dan melaksanakan proyek-proyek pemerintaahan. Kalau dulu acara-acara PKS selalu dipenuhi dengan sepeda motor, sekarang dipenuhi dengan berbagai macam merk mobil (bahkan ada sebuah mobil dengan plat nomor cantik serta huruf yang merupakan singkatan dari nama pemiliknya)

Kesejahteraan adalah hak, dan apabila banyak kader PKS yang tingkat kesehateraannya semakin baik juga tidak bisa dipersalahkan. Penghasilan yang menigkat dan tingkat perekommian kader yang semakin mambaik adalah hak bagi semuanya. Banyak kita lihat kader dan simpatisan PKS ini sudah memiliki rumah yang sangat layak dan mungkin mobil saja lebih dari satu. Kehidupan mereka sudah lebih dari dari cukup. Namun yang perlu dingat adalah bahwa PKS adalah tetap partai dakwah, yang berarti bahwa segala sesuatu yang menyangkut partai, baik kader atau gaya hidupnya harus dikembalikan pada norma dan moralitas sebagai partai dakwah. Bukan berarti bahwa dengan keterbukaannya kemudian membuat PKS semakin pragmatis, meninggalkan slogan-slogan dakwahnya yang sudah dianggap kuno. Sejarah belum membuktikan bahwa partai politik yang idealis tidak akan menang daalm sebuah pertarungan pemilu. Malah yang kita lihat Ahmadinejad, seorang idialis sejati, seorang presiden yang sangat-sangat sederhana, mampu terpilih menjadi presiden dua kali, dan menjadi inspirasi bagi negaranya tegak berdiri di hadapan hantaman negara-negara Barat. Ahmadinejad mampu mepertahankan kesederhanaannya dan idealismenya semalam dua kali menjadi presiden.

Yusuf Supendi adalah ustadz senior dan sampai sekarang beliau masih dikenal sebagai ustadz. Apa yang dilaporkan ke KPK, Polri dan BK DPR janganlah dilihat dari sisi kaca mata fitnah atau ancaman. Internal PKS seharusnya menyikapi hal tersebut sebagai sebuah peringatan atau tepatnya teguran. Bukankah internal PKS adalah juga para ustadz (alias ustadz melaporkan ustadz). Mungkin selama ini ada sesuatu yang tidak berjalan semestinya dalam tubuh PKS dan Yusuf Supendi sudah merasa selalu mengingatkan tapi tidak direspon. Dalam kacamata lain dapat dikatakan, Yusuf merasa sudah saatnya harus dijewer dengan keras supaya mau diingatkan. Wajar PKS bila melakukan perlawanan apabila hal itu tidak benar menurut PKS, namun dalam bahasa partai dakwah hal yang lebi tepat adalah segera mengevaluasi diri. Apakah yang dilakukan PKS selama ini memang sudah tepat sebagai sebuah partai dakwah. Ataukah ada bungkus kebijakan dakwah yang tidak tepat sehingga perlu evaluasi lagi. Evaluasi internal harus menyeluruh. Organisasi harus dievaluasi lagi, apakah masih sesuai dengan tatanan partai dakwah. Kader juga harus dievaluasi apakah masih bisa mrepresentasikan bahasa partai dakwah. Apabila telah menyimpang dari norma partai dakwah, maka gaya hidup dan perilaku kader harus dikembalikan kepada gaya hidup sebagai kader partai dakwah. Kita tidak bicara secara general, masih banyak anggota DPR/DPRD PKS yang sangat sederhana (bahkan ada yang masih hidup di rumah kontrakan), namun yang perlu diingatkan untuk kembali ke track kader partai dakwah adalah mereka yang sudah melupakan bagaimana seharusnya menjadi kader partai dakwah.

Kita kan menunggu bagaimana para petinggi PKS merespon kasus yang dibawa Yusuf Supendi ini. Tapi menurut saya, ishlah adalah bahasa yang paling indah. Esensi dalam sebuah organisasi adalah saling mengingatkan dan saling menasehati. Apalagi ini adalah sebuah partai dakwah. Bagaimana dakwah akan digunakan sebagai senjata untuk menyelesaikan permasalahan ini, itu akan dilihat dari petinggi PKS dalam menyelesaikan masalah ini. Dan hal itu akan dilihat oleh semua masyarakat luas. Dakwah Islam adalah jati diri PKS. Ketika hal tersebut hilang maka akan hilang juga PKS.



*) pemikiran seorang teman yang coba saya tuangkan dalam bentuk tulisan....04-04-2011